Sunday, May 25, 2008

(Blog Review) Professional Procrastinator: A Statement of Artistic Challege

Written by: Eki Qushay Akhwan
© All rights reserved.

An artist is by nature rebellious. I forgot who said this. But I believe there is a logic in that. The true measure of an artist is his/her is creativity; and being creative means seeing things that others would otherwise fail to notice, create things that others have not possibly thought about. Being creative is exploratory – always testing the limits of what’s possible, what’s beyond the existing boundaries of the present. Hence, an artist often lives in a world very much ahead of his/her own time and this is why – in the eyes of the ordinary peole – he/she often looks eccentric, unconventional, or even outrightly rebellious!

There is one particular Indonesian photo blogger that in statements and his works could well fit what’s described above. “Professional Procrastinator” (http://kurniadiwidodo.blogspot.com/) – the name he gave his blog – is just a precursor to his unconventional point of view. Semantically, these words do not collocate: “Procrastinator” has a negative connotation that is very contrary to the word “professional,” which is imbued with positive imagery. Putting these words together is agaist convention. Hence, it can be considered as a statement of rebellion.

The rebellion that’s being touted in this particular blog, however, is not of the kind that carries the negative undertone of annihilating the status quo, but rather one that is questioning the blind adherence to a set of practices and challenging everybody to step outside the walls that have limited their views to the same things over and again and made them afraid of taking the path least travelled. About this, Kurniadi Widodo (Wid), the owner of the blog, is particularly clear. Another statement (or rather, question) posted on his account profile at FN (www.fotografer.net) asked this: “gee, don’t you guys ever tired of making and seeing the same kind of photographs over and over again?”

Translated, the statement could well mean: I’m tired of making and seeing the same kind of photographs – why aren’t you? Why don’t you try something different? And he means what he says. Restless in search of what’s possible beyond what has already existed and practiced, he goes on his own journey to explore the aesthetic limits photography could offer. The results are quite a unique point of view that is his own. A look at the themes and the photographs he displays at his photo blog immediately confirms this. Just take a look at two of his most recent postings: “150408” and “Familiar Faces, the Book”.

“140408” is a set of pictures which, as he wrote, was taken at a photo-shooting session dubbed “Photographed Like Celebrities” – a marketing program held by one of Indonesia’s largest cosmetic producers – where ordinary people were made over and photographed like celebrities. He was invited there by some photographer friends who were assigned to do the shooting. It was indeed “a serious stuff,” as he said. The photographs produced for the event were essential to the company’s image-making. Instead of flowing with the others and use the chance to hone his fashion photography skills, however, he took pictures of his own liking – a defiance that once again exerted his own unique point of view. The results were an amazing array of back-stage and on-stage dynamic views of the event – shot in black and white, no less, for an event whose theme was “color trends of 2008”!

Unlike the images in “140408” which were especially made at a photo session, the posting entitled “Familiar Faces, the Book” consists of pictures taken over quite a long period of time – his college years – of subjects that were close and dear to him: his college friends. Here too, we can find his unique perspective. Thanks to his unique approach and way of seeing, the “familiar faces” turned out to be not too familiar at all, in style at least.

The pictures in “140408” may look relaxed, candid, and unpremeditated. In this, at least, they show what they are supposed to show: The emotional intimacy that exists between friends. Yet, the way this bond is visually represented takes a surprising turn. There are almost no clearly identifiable, much less familiar, faces. Instead, all we can see is the “symbolisms” of that intimacy: Look at the figure leaving the tennis table whose face is hidden in the shadow (picture #1), for example. At glance, this is not what we expect to see in an album entitled “Familiar Faces”. Yet upon closer observation there is no denying that the visual moment, the relaxness of the atmosphere, and the angle could only come from uninhibited emotional intimacy that exists between close friends. Another proof of his twist, a statement and a lesson from a “rebel”: Look, your subjects may be familiar, but the point of view should be uniquely yours. The massege is a resounding “explore!” “explore!” “explore!”

Among Indonesian photo bloggers, Kurniadi Widodo and his “Professional Procrastinator” banner could well be a rarity. His consistent take on the opposite of what’s accepted, I think, is the tell tale sign of his artistry. His blog is the blog you may want to check out if you feel that the walls of the ordinary have somewhat suffocated your aesthetic taste and photographic expressions and need to have a fresh look at your photographic subjects.

Saturday, May 24, 2008

Pelajaran Fotografi #4: Memotret Tanpa Kamera

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan
© Eki Qushay Akhwan. Dilarang mempublikasi ulang artikel ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Eki Qushay Akhwan.

Judul tulisan ini mungkin aneh. Mana mungkin memotret tanpa kamera? Tapi memang inilah fokus pelajaran keempat ini.

Banyak orang awam atau peminat pemula fotografi yang beranggapan bahwa foto-foto hebat hanya bisa dihasilkan dengan kamera dan peralatan yang canggih. Anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena sesungguhnya yang paling menentukan bagus tidaknya foto adalah sang fotografer, bukan alat yang dipakainya. Rahasia para fotografer hebat sebenarnya terletak pada kreatifitas mereka, atau lebih tepatnya cara mereka melihat. Kamera dan semua peralatan pendukungnya hanyalah alat yang membantu mereka mewujudkan gagasan dan merekam cara pandang mereka.

Dunia ini dinamis, kompleks, dan penuh dengan objek dan peristiwa yang sekilas bisa jadi tampak kacau balau dan membingungkan. Tentu kita tidak dapat merekam semua kerumitan itu dalam foto yang, pada wujudnya, dibatasi oleh sebentuk bingkai. Bingkai yang tidak seberapa besar inilah batas ruang ekspresi sang fotografer. Oleh karena itu, prinsip pertama yang harus diikuti dalam menciptakan foto yang bagus adalah, memilih, mengisolasi, dan menyederhanakan. Untuk dapat melakukan semua itu, seorang fotogrfer harus melatih mata (dan mata batinnya) dalam melihat dunia sekelilingnya.

Seorang fotografer yang handal mampu mengidentifikasi citraan-citraan (images) yang menarik karena dia terus-menerus mengasah kemampuan melihatnya. Dapat dikatakan bahwa, ketika dia tidak membawa kamera sekali pun, dia terus-menerus “memotret” – melihat atau mengamati segala sesuatu dengan referensi bingkai foto yang terbatas.

Untuk mengilustrasikan hal di atas, coba amati rangkaian foto-foto berikut. Suatu pagi beberapa waktu yang lalu, saya melihat seorang pedagang kue bandros di depan hotel tempat saya menginap. Foto #1 adalah gambaran kesan umum yang tampak oleh mata saya. Inilah kira-kira citraan yang dilihat oleh orang awam yang belum terlatih cara melihatnya. Bagi seorang fotografer, “penemuan” itu hanya langkah awal yang berlangsung dalam hitungan detik. Penemuan itu akan segera menggerakkan mata dan mata batinnya untuk melakukan eksplorasi, mencari dan menemukan hal-hal yang secara visual menarik. Eksplorasi itu bisa jadi membawa si fotografer pada ekspresi muka si tukang bandros, atau pada kegiatannya membuat kue bandros, atau pada peralatan yang dipakainya. Sekali lagi, semua eksplorasi itu dilakukan melalui referensi bingkai foto yang sudah tertanam dalam benaknya. Foto #2 dan #3 adalah kesan khusus yang didapatkan oleh fotografer melalui pengatan visualnya.

Jadi, bisakah kita memotret tanpa kamera? Tentu bisa! Bahkan, untuk menjadi fotografer yang handal, Anda harus melakukannya setiap saat. Pasanglah bingkai foto pada mata dan mata batin Anda, dan lihatlah dunia di sekitar Anda melalui jendela itu. Temukan apa yang menarik untuk difoto. Ingat, bingkai foto adalah ruang ekspresi yang terbatas. Oleh karena itu, Anda harus selalu mengingat tentang pentingnya memilih, mengisolasi, dan menyederhanakan subjek yang Anda lihat.

Selamat mencoba, dan nantikan pelajaran fotografi selanjutnya!

Friday, May 16, 2008

Camera Phone Photographs as Art?






Written by Eki Qushay Akhwan

Put the key words “Camera Phone Photography” in Google search engine and you’ll get nearly 3.5 million results. Change the word “camera” with “cellular,” and Google will bring you more than double the results of the first search: 7.4 millions! Dare to change the word “cellular” with “mobile”? I don’t think I need to tell you what the number of the relevant results will be. You can try it on your own. But, warn you, it’s going to be a lot higher!

If these numbers tell anything, this is what I think it means: Mobile, cellular, or camera phone photography has become a phenomenon of the day in the world of photography. Accept it as a fact: Smaller and multi-functional gadgets will increasingly become the widgets of choice for photographers.

Thanks to its light-weight and increasingly more versatile features, cellular phone camera, which used to be a mere accessory to the mobile communication device a couple of years ago, is now becoming a more noteworthy contender to its bulkier conventional siblings. It’s no longer considered only as a toy for the uninitiated in photography – teens who want to have fun taking narcissistic pictures of themselves and their friends or holidaymaker snap shooters who want to share the good times they have with loved ones at home. More and more serious photographers are now experimenting and exploring the possibilities of using camera phones for more serious projects like producing art works. A photo exhibition held not so long ago by a certain photographer Patrice Elmi at a Los Angeles gallery or Thomas Krueger’s (a Seattle, Washington-based art photographer) experiment to create beautiful photographs using camera phones are probably just tiny symptoms that will become a more and more common practice in the near future.

The bulk of photographs produced with camera phones has also convinced many photo sharing websites such as Flickr (http://www.flickr.com/) to put them into a category on its own. A quick browse in this group of pictures (more than 1.2 millions of them at the time this article was written) would reveal a variety comparable to other categories taken with “camera proper” devices (Pocket Digital Camera, DSLR, film). While most of them are of snap shot quality (this is also true for pictures taken with “camera proper” devices), quite a few – in my opinion – are actually very beautiful and can strongly make it into the fine art category.

Pictures produced with camera phones do still have some limitations, at least for now. Lack of interchangeable lens and sophisticated flash system as well as the limited power of the lenses’ optical zoom power are some of the challenging factors that serious photographers still have to deal with in using camera phone for serious works. However, with the phenomenal technological development in this area and with the market demand so high, chances are that these features will soon be made available by the big players in the industry. Furthermore, like what Elmi and Krueger have shown, limited gear power should not deter serious photographers from making the most of what’s available to them. With keen observation and creative application of photography principles, great works are not impossible to make even with limited equipment. If our predecessors of great photographers can teach any lessons at all, technological limitations are not a valid reason for not being able to create great works. Photography as art, after all, is not about the power of gadget; it’s about the power of creativity and vision!

Picture captions:
All the pictures above were taken with low-resolution, VGA camera phone of Sonny Ericsson W200i. Are they any good? Only you can tell.

Wednesday, May 14, 2008

Fotografi Telepon Seluler (Ponsel) Sebagai Seni

Judul Foto: World of Ideas
Kategori: Abstrak
Fotografer: © Eki Qushay Akhwan
Lokasi Pemotretan: Bandung
Peralatan: Kamera Telepon Seluler Sonny Ericson W200.
Foto asli tanpa pengolahan apapun dengan perangkat lunak pengolah foto.


Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan

Dalam penjelajahan saya ke dunia maya beberapa waktu yang lalu, saya menemukan sebuah tulisan menarik tentang fotografi ponsel (HP) sebagai seni di situs salah satu jaringan televisi terbesar di Amerika Serikat MSNBC. Artikel berita yang dilansir nyaris setahun yang lalu itu (maaf, barang lama!) menceritakan tentang seorang fotografer, Patrice Elmi, yang mengadakan pameran karya-karya fotografi seninya di sebuah galeri kecil DRKRM di Los Angeles.

Bagi para fotografer penganut aliran pemuja alat yang selalu ribut dengan kecanggihan fitur yang dimiliki oleh kamera dan lensa-lensanya, kabar ini bisa jadi berita buruk. Sementara bagi para fotografer yang tidak terlalu peduli dengan alat dan lebih fokus pada gagasan kreatif dan eksploratifnya, berita ini barangkali hal biasa yang justru menegaskan sekali lagi keyakinan mereka bahwa fotografi sebagai seni pada dasarnya bukan masalah alat, namun visi (cara melihat) dan kreatifitas. (Mengenai hal ini, silakan baca sekali lagi artikel saya “Apakah Fotografi itu Seni” – lihat arsip di blog ini.)

Karya seni fotografi yang dihasilkan dari perangkat telepon seluler (ponsel) atau HP tentu masih memiliki sejumlah keterbatasan, paling tidak untuk saat ini. Keterbatasan itu antara lain karena hingga saat ini kamera ponsel belum memiliki lensa variable optikal (optical zoom) dan sistem lampu kilat yang setara dengan yang dimiliki kamera SLR. Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh karya-karya Elmi, keterbatasan itu tidak bisa dijadikan untuk tidak berkreasi secara optimal. Dengan visi yang jelas dan penerapan prinsip-prinsip fotografi yang cermat, karya foto yang bagus bukan tidak mungkin dihasilkan dari kamera ponsel.

Secara pribadi, saya sendiri termasuk praktisi fotografi yang kurang memerdulikan alat. Peralatan yang saya miliki terus terang sangat terbatas. Pengetahuan saya mengenai alat pun barangkali tidak secanggih yang dimiliki oleh teman-teman fotografer lain. Saya juga lebih suka membawa kamera digital saku Canon Powershot A510 3,2 piksel yang sudah sejak lama saya miliki dan daripada kamera SLR. Ukurannya yang kecil dan ringan mempunyai banyak keuntungan. Misalnya, saya tidak perlu sakit punggung gara-gara membawa peralatan tempur yang berat. Di tempat-tempat publik, kamera kecil juga tidak mencolok mata dan membuat subjek saya terintimidasi. Satu-satunya keluhan yang saya miliki mengenai kamera kecil saya itu adalah shutter leg-nya yang mengurangi kecekatan saya dalam menangkap momen. Namun umumnya itu tidak terlalu menjadi masalah.

Meskipun kecil dan ringan, ternyata kadang-kadang saya juga masih sering lupa membawa kamera saku saya. Dan itu sering menjengkelkan, terutama ketika tiba-tiba saya menjumpai objek, subjek, atau momen yang menarik untuk difoto. Dalam situasi seperti itulah, saya kira, kamera ponsel yang ringan dan hampir selalu ada dalam genggaman kita sangat membantu.

Terus terang sampai saat ini saya tidak memiliki ponsel dengan kamera yang canggih. Namun itu tidak menghalangi saya untuk melakukan eksperimen kreatif dengan menggunakan prinsip prinsip fotografi yang saya ketahui. Berikut ini sebagian portfolio yang saya ambil dengan kamera beresolusi VGA dari ponsel Sonny Erricson W200i. Apakah foto-foto ini bisa dianggap bagus atau berseni? Andalah yang bisa menilai.



Monday, May 12, 2008

Editorial 001: A Statement of Purpose



Ten days is probably a very tiny measure of time in exploring such an interesting subject as photography. Nevertheless, a step taken in an exploration should never be measured lightly, no matter how small. After all, a wise man says, a journey of a thousand miles begins with a small step.

It’s ten days since this blog was lauched. Although traffic is still not very significant, I'm happy that it’s showing an upward trend. It began with only six hit. Now, it’s about twenty per day and is increasing. For this, I’d like to express my gratitude and appreciation to those who have visited, read, and made the time to comment on the postings. You are the reason why this blog was made in the first place. And it is you and your support that will be the reason for its continued existence. Without you, the words and pictures in this blog will be just a silent and meaningless token.

A few changes have taken place for the past ten days. All of them with you in mind. The most obvious is probably the blog’s description. I find “what you need to know about photography and photographers” too big, unrealistic, and patronizing. Who am I to tell you what you need to know, much less the one who is going to give you the answers to all your questions? I don’t know that much, even about something that I’m so passionate about like photography. I’ll probably learn more from you than you from me. As a member of the community, all I can do is share what I have the way you have shared yours. In the word sharing, there is “togetherness” – a sense that each of us is just the building block of a community who, with shared responsibilities and concerted efforts, could achieve something bigger than that that an individual could do on his/her own. Hence, I have chosen “exploring and understanding photography” in its stead.

This new description, I think, fits better to the objective of blogging, which has given us means to democratically voice our individuality and at the same time share whatever uniqueness we have as a meaningful contribution to the betterment of the community.

An exploration may be carried out individually. But what we learn from that exploration – the understanding part – cannot be achieved in whole without sharing it with others. Here I’m sharing with you my exploration in photography, and when you do the same, together we’ll have a more complete picture – a better understanding – of it.

Apart from that significant change (significant because it embodies some sort of “philosophical” view) and some insignificant changes like the layout and contents, other things will remain the same, at least for the time being. I will, for example, still post in Indonesian and English. I have my own reasons for that; but, again, it’s you that I keep in mind.

I view language as a bridge. My postings in Bahasa Indonesia in this case will serve as a vessel that brings the wealth of information available in English to those readers who are not conversant enough in the language. On the other hand, the English postings will offer those who do not speak Indonesian a peek into what’s uniquely Indonesian. Thus, communication is enhanced and understanding achieved. I could of course post exclusively in either language and reap the benefits each offers in terms of readership, popularity, and perhaps even some financial rewards. But I believe that the advantage of posting in both languages will outweigh the other option I have.

I hope you will still enjoy visiting this blog in the days, months, and years to come as I no doubt will do exploring yours.




Regards,
Eki Qushay Akhwan

Sunday, May 11, 2008

A Photo Essay: A Day at a Festival

By Eki Qushay Akhwan


I like going to festivals.
Not so much for the fun as for the opportunities they always present:
to have a peek at the behavior of the homo ludens;
and to hone the ever-faithful view-finder of my camera...
_________________________________________


In a festival, beauty is always part of the fun. Always commanding. Always speaks loudly for herself.

____________________________________________





Games are staring coldly right through the escapist desires in us all.

Fun, everyone?

Why not having an adventure without leaving your seat?

It still IS an escape ...

____________________________________________





A juggler makes your eyes swirl in bemusement ...

And music stirs your soul and makes your body restless,

aching for the rhythm of the universe.

____________________________________________





Adventure is always about a test of your strength;

resolution, and the sheer joy of conquests and discoveries.

It's a world of joy found

in children ...

And the child who lives in us all ...


____________________________________________

The horrors of magic might not be your cup of tea.
But hey ...., that's why it's called MAGIC!




____________________________________________

Just a fair warning:
Too much fun could affect your heart and vitality!



Friday, May 9, 2008

Pelajaran Fotografi #3: Warna dan Tekstur

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan

Pada pelajaran #2, kita sudah mengamati dan mendiskusikan portofolio yang mengilustasikan bagaimana permainan garis, bidang, dan geometri membentuk foto yang menarik. Pada pelajaran ini, kita akan mengamati portofolio yang mengintegrasikan warna dan tekstur ke dalam komposisi. Perhatikan foto berikut ini:



Judul Foto: Fallen
Lokasi pemotretan: Bethlehem, Pennsylvania, Amerika Serikat
Fotografer: © Eki Qushay Akhwan



Foto ini eyecatching (menarik perhatian mata) dan menjadi salah satu foto pilihan editor yang mendapat rating cukup tinggi ketika dimuat di http://www.fotografer.net/. Daya tarik foto ini, menurut saya, pertama terletak pada kombinasi warnanya: hijau (warna daun, titik perhatian utama foto ini) dan merah (warna bata trotoar yang menjadi latar belakang) yang sangat kontras dan komplementer. Unsur lain yang menjadikannya menarik perhatian mata adalah garis-garis yang dibentuk oleh susunan bata. Garis-garis itu silang menyilang membentuk diagonal. Ini menjadikan komposisi menjadi tampak dinamis. (Garis diagonal mempunyai sifat lebih dinamis dibandingkan dengan garis vertikal atau horizontal.). Tekstur bata yang tidak mulus dan arah jatuh cahaya juga menambah nilai hentak visual foto.

Proses Kreatif
Subjek foto ini didapat secara tidak sengaja. Artinya, sebagai fotografer, saya tidak sengaja mencari subjek ini. Siang itu, saya sedang jenuh dan, seperti biasa, saya mencari pelarian dengan berjalan-jalan menenteng kamera. Tujuan saya sebenarnya adalah mencari objek-objek foto arsitektur atau kehidupan di jalanan. Ketika sedang berjalan itulah, saya tidak sengaja melihat ke bawah dan melihat beberapa lembar daun pohon maple yang jatuh di trotoar. Warna daun dan bata serta garis-garis yang dibentuk oleh susunan bata itu langsung menarik perhatian saya. Saya segera mengambil beberapa foto. Saya memutuskan untuk melakukan sudut pengambilan dari atas (top angle) untuk memberi tekanan pada kontras warna dengan memperhitungkan unsur garis, tekstur, dan arah cahaya. Saya juga memainkan posisi kamera agar garis-garis susunan bata tampak silang menyilang secara diagonal untuk memberi kesan dinamis. Inilah hasilnya.

Pelajaran yang dapat dipetik:
Pertama: Selalu amati benda, orang, dan kejadian di sekitar kita. Jangan terpaku dengan tujuan perburuan kita. Pengamatan yang cermat dan jeli akan membuat kita mampu menemukan hal-hal menarik yang biasanya terlewatkan oleh kebanyakan orang.

Kedua: Pusatkan pengamatan itu pada hal-hal kecil yang kadang-kadang tampak tidak signifikan, seperti warna, tekstur, garis, arah dan kualitas cahaya, atau (jika interes kita pada orang) perhatikan penampilan dan perilaku orang. Hal-hal kecil seperti itulah yang seringkali memberikan kepada kita foto yang istimewa.

Ketiga: Karena fokus pelajaran ini adalah warna dan tekstur, perhatikan bahwa paduan warna-warna tertentu (dalam foto di atas merah dan hijau) memiliki nilai hentak visual yang tinggi. Demikian juga dengan tekstur. Tekstur kasar dalam terpaan cahaya samping (directional light) akan semakin kuat memunculkan kesan tekstur yang berdimensi dan menjadikan foto lebih menarik.

Selamat mencoba! Dan nantikan pelajaran berikutnya.

Thursday, May 8, 2008

(Blog Review) Billitone: A Photography Enthusiast's Spiritual Maturity

Written by: Eki Qushay Akhwan

There’s one blog on photography that I’ve been watching and visiting every now and then. It belongs to a friend. I got to know him through his works at http://www.fotografer.net/ (FN) (Indonesia’s most popular photo website) back in 2004. We’ve only met once and only for a few hours on my one-day visit to Singapore in September 2005. His name’s Andri Irawan.

The first thing that truck me about his pictures was that they were so well composed and executed that I think they were among the few best pictures at FN. The pictures were landscapes (not the kind of pictures I do well myself, but always admire others'). They were of Bangka and Belitung islands. The pristine and beautiful beaches. On a few fleeting cyber “conversations” that we exchanged from comments we made about each other’s pictures, I learned that he was from Belitung (Andri, correct me on this if I’m wrong); hence, the name of his blog (http://www.billitone.net/). It's a fitting choice! And a beautifully sounding name that’s easy to remember!

He’d had another blog, of course. Ricohgrd or something, which I never did know he had until he introduced Billitone. Never mind about the other blog. It’s Billitone that matters. Unlike any other personal photo web logs that I have seen, Billitone is not only an expression of a photo enthusiast's personal voices and show case for his works. More than that, I see in it intelligence and intellectual and spiritual maturity that could only be the results of a long trail of his exploration of photography (and of life!).

His photos that got us introduced to each other in the first place have evolved in style and subject matter. He no longer takes landscapes, as far as I know. His pictures now are so candid, lucid, almost without the stringent geometrical lines of composition I used to find in his landscapes. But candid-ness and lucidity and the apparent absence of geometrical lines should not have us believe that he has digressed into and joined the ranks of the undisciplined, ignorant, and careless hordes of photography enthusiasts. On the contrary, his lucidity shows that he has finally been able to free himself from the rigidity of procedures, the mechanical way of seeing and taking pictures; for now – despite the geometrically “chaotic” look of his pictures – the subjects are alive and thick with the spirituality and emotion that define LIFE!. This, I believe, can only be the tell tale signs of spiritually-and-intellectually guided maturity gained though a very rich and enriching life experiences.

I love Billitone not only for the pictures it displays. The visuals might look superficial and fleeting to the undiscerning eyes; but the words would have us anchor those images to the deeper reality of visual representation and interpretation. Without verbosity, these words provide a pathway that links the outward appearance (“the window”) to the substance (“the house” and whoever lives in it). Just look at the blog description: “THERE IS MORE TO SEE THAN MEETS THE EYES”. A very catchy hint indeed! And it keeps its promise: you’ll see more of (the wealth of human's inner) life than just the mere keep of appearances.

Here are some of my favorite lines:

There I was on the street again, with a voracious appetite for the usual and unusual, to take ordinary photographs. I have nothing to give meaning to the world yet, to feel myself involved in what I frame through the viewfinder.

And this:

It is my understanding that everything has a purpose, that's why everyone of us is on our own path.

You are sure going to find a lot more of this stuff in the blog. Candid and humble as these words may sound (I have nothing …, it is my understanding …), accompanied with the “right” images, they could tickle your senses - at the very least -; or could even get you carried away to a level of experience higher than the ordinary if you happen to be travelling on the same wave length.

If you are a restless soul always seeking that plane higher than meets your eyes in your photographic exploration, this is the blog to go and visit every now and then. It's going to open your eyes and get you inspired!

Monday, May 5, 2008

Berburu Bunga Sakura di Washington, D.C.

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan

Kolam Pantul (Reflective Pool) yang membentang dari depan Lincoln Memorial (dimana foto ini diambil) hingga ke Washington Monument di latar belakang.

Mendengar kata Washington, D.C., orang barangkali akan segera teringat dengan Gedung Putih dan Capitol Hill, dua simbol kekuasaan adidaya Amerika Serikat yang paling dikenal di dunia. Tidak salah memang, karena kedua tempat itu memiliki pengaruh yang besar terhadap kejadian-kejadian di belahan dunia lain. Hampir semua keputusan yang diambil di kedua tempat itu dapat dirasakan akibatnya di seluruh penjuru dunia.

Yang jarang diketahui orang barangkali adalah, bahwa Washington D.C. juga salah satu tujuan wisata yang menarik di negeri Paman Sam. Beragam atraksi wisata ditawarkan oleh kota ini. Di antara objek yang paling banyak dikunjungi adalah monumen-monumen yang banyak bertebaran di seantero kota: Washington Memorial, Jafferson Memorial, Lincoln Memorial, World War II Memorial, Korean War Memorial, Vietnam War Memorial dan dan seabreg memorial lainnya, yang letaknya cukup berdekatan satu sama lain di sekitar Tidal Basin dan kolam pantul yang membentang dari Lincoln Memorial hingga ke Connecticut Avenue di mana Washington Memorial berada.


Menara obelisk Monumen Washington dengan latar depan bunga Sakura yang sedang mekar. Foto diambil dengan kamera saku Canon Powershot A400. Fotografer: Eki Qushay Akhwan.


Peziarah di Vietnam War Memorial. Tembok yang terbuat dari marmer hitam itu berisi ukiran nama-nama korban prajurit Amerika yang tewas dalam perang Vietnam. Foto diambil dengan kamera saku Canon Powershot A400. Fotografer: Eki Qushay Akhwan



Monumen Perang Dunia Kedua. Monumen ini berbentuk lingkaran mengelilingi kolam air mancur. Bagian utara lingkaran itu yang disebut Teater Utara mewakili kancah perang di Atlantik, sedangkan bagian selatan yang disebut Teater Selatan mewakili kancah perang yang terjadi di Pasifik. Foto diambil dengan kamera saku Canon Powershot A400. Fotografer: Eki Qushay Akhwan.

Washington, D.C. juga dikenal karena museum-museumnya yang, terus terang, membuat saya ketagihan: ragam jenisnya, kekayaan koleksinya, dan banyak di antaranya yang gratis, alias tidak perlu bayar untuk mengunjungi dan menikmati koleksinya. Di antara museum-museum itu, favorit saya adalah Smithsonian Air and Space Museum yang sudah dua kali saya kunjungi. Museum ini mengoleksi artefak dan catatan sejarah penerbangan dan antariksa dari sejak ditemukannya persawat terbang oleh Wright bersaudara hingga ke pesawat-pesawat antariksa tak berawak yang menjelajah ruang antarplanet dan antargalaksi. Selain itu, museum ini juga memiliki teater IMAX yang memutar film-film tentang sejarah penerbangan dan penjelajahan antariksa yang menurut saya sayang untuk dilewatkan.

Menjelajah museum yang sangat luas ini membuat kita merasa berada di ruang dan waktu yang berbeda. Setengah hari yang saya habiskan di sini terasa tak cukup menikmati semua koleksi dan atraksi yang dipamerkannya. Tak heran jika museum ini menjadi salah satu museum yang paling banyak dikunjungi di dunia.


Pesawat Boeing DC-3 koleksi Smithsonian Air and Space Museum, Washington, D.C. Foto diambil dengan kamera saku Canon Powershot A400.


Mesin roket peluncur Apollo 13 koleksi Smithsonian Air and Space Museum, Washington, D.C. Foto diambil dengan kamera saku Canon Poweshot A400.

Festival Bunga Sakura
Saat terbaik untuk mengunjungi Washington, D.C. adalah di musim semi (antara Maret dan pertengahan Mei). Di musim ini tingkat kelembaban dan suhu udara sangat nyaman. Langit yang cerah, udara yang cukup kering, dan temperatur yang seperti di ruang ber-AC sepanjang hari (sekitar 20 derajat Celcius), membuat kita nyaman berjalan seharian tanpa harus berkeringat dan mengalami kelelahan yang berarti. Untuk orang yang memiliki hobi fotografi, langit yang biru dan bunga-bunga yang bermekaran juga menjadi daya tarik sendiri.


Wisatawan menikmati keindahan bunga Sakura di tepian Tidal Basin. Foto diambil dengan kamera saku Canon Powershot A400. Fotografer: Eki Qushay Akhwan.

Musim semi juga menjadi saat yang paling istimewa bagi Ibu Kota Negara Paman Sam ini, karena di musim inilah setiap tahun digelar Festival Sakura (National Cherry Blossom Festival). Sebagaimana namanya, festival ini memang diadakan untuk menyambut mekarnya bunga-bunga Sakura. Karena yang menjadi patokan adalah saat mekarnya bunga cantik yang berasal dari Jepang itu, maka tanggal pelaksanaanya juga agak berbeda setiap tahun. Tahun 2005, misalnya, festival diadakan dari tanggal 26 Maret hingga 10 April. Tahun 2008 ini, festival berlangsung dari tanggal 29 Maret hingga tanggal 13 April.

Pohon Cherry Blossom (Sakura) yang sekarang menjadi ciri khas dan kebanggaan kota Washington, D.C. ini menurut sejarah berasal dari Jepang. Pohon-pohon itu dihadiahkan sebagai tanda persahabatan oleh rakyat Jepang kepada rakyat Amerika pada tahun 1912. Festival Sakura sendiri pertama kali diadakan pada tahun 1935 untuk memperingati penanaman pohon Sakura pertama yang dilakukan oleh Ibu Negara Helen Heron Taft dan Putri Chinda, istri duta besar Jepang, pada tanggal 27 Maret dua puluh tiga tahun sebelumnya.

Tradisi Festival Sakura sempat terhenti pada Perang Dunia II karena kedua negara berada pada sisi yang bermusuhan. Akibat perang ini, beberapa pohon Sakura di Washington, D.C. bahkan sempat ditebang dan dirusak oleh orang-orang tak dikenal pada bulan Desember 1941, ketika Jepang membom Pearl Harbor. Festival dihidupkan kembali tiga tahun setelah PD II berakhir dan menjadi tradisi hingga sekarang.

Meskipun pohon Sakura bisa dijumpai di banyak sudut kota Washington, D.C., konsentrasi terbesar pohon ini berada di sekitar Tidal Basin, East Potomac Park (yang berada di tepian timur sungai Potomac), Kanal Washington, dan di sekitar Washington Monument. Jenis Sakura yang ditanam di sini banyak ragamnya. Yang paling banyak menurut catatan adalah jenis Yoshino dan Kwanzan Cherry (prunus x yodoensis dan prunus serrulata Kwanzan) yang berbunga putih cemerlang. Sementara jenis Akebono (prunus x yodoensis Akebono) yang berbunga merah jambu bisa dijumpai di sela-sela jenis yang pertama disebut tadi. Konon semua pohon ini adalah keturunan langsung dari pohon-pohon yang sama yang tumbuh di tepian sungai Arakawa di pinggiran kota Tokyo.

Trik Memotret Bunga Sakura
Memotret bung Sakura mempunyai tantangan tersendiri. Cuaca musim semi yang cenderung cerah serta warna Sakura yang putih atau merah jambu cemerlang sering menipu alat pengukur cahaya di kamera (light meter). Light meter kamera yang didesain untuk mendapatkan eksposure yang tepat (nada tengah atau abu-abu 18%) bisa membuat foto-foto Sakura menjadi kekurangan cahaya (underexposed) atau kelebihan cahaya (overexposed) dan tidak kelihatan seindah warna aslinya.

Untuk mengatasi hal di atas, ada beberapa trik yang bisa digunakan. Untuk pengambilan jarak dekat (close-up) atau situasi di mana warna putih mendominasi bingkai (warna putih mengisi sekurang-kurangnya dua pertiga bingkai), kita perlu menyesuaikan eksposure antara +1 hingga +2 EV (plus satu hingga dua stop). Penyesuaian ini perlu dilakukan agar warna putih bunga tidak menjadi abu-abu. Sebaliknya, jika warna putih mengisi kurang dari seperempat bingkai, kita perlu menyesuaikan eksposure kira-kira -0,5 EV (minus setengah stop) supaya warna putih bunga tidak menjadi kelebihan cahaya (overexposed). Saya menganggap cara ini paling sederhana dan mudah dilakukan ketimbang cara-cara lain seperti melakukan pengukuran cahaya dengan menggunakan kartu abu-abu 18% atau spot meter.


Bunga Sakura jenis Akebono. Foto diambil dengan kamera saku Canon Powershot A400. Fotografer: Eki Qushay Akhwan

Friday, May 2, 2008

Pelajaran Fotografi #2: Cahaya, Jangkuan Nada, dan Komposisi Garis dan Bidang

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan

Pada Pelajaran Fotografi #1, kita sudah belajar bahwa foto bagus selalu memiliki dua elemen dasar yang penting: komposisi dan cahaya. Dari pelajaran itu, kita juga tahu bahwa dalam komposisi kita dapat memainkan keseimbangan dan asimetri (dalam garis, bidang, ruang, dan geometri), wujud dan bentuk, pola dan tekstur, serta cahaya, nada (tone), dan warna untuk mendapatkan gelegar visual (visual impact) yang menghidupkan foto.

Dalam pelajaran ini, kita akan melihat portofolio pertama yang mengilustrasikan penerapan prinsip-prinsip di atas.

Judul foto: Line and Curve
Lokasi pemotretan: Bethlehem, Pennsylvania
Fotografer: Eki Qushay Akhwan

Dari segi cahaya dan nada, foto ini kurang. Karena diambil ketika langit mendung, cahaya jatuh merata ke semua titik. Situasi pencahayaan seperti ini disebut flat (datar, rata). Pencahayaan yang datar seperti ini bisa jadi menguntungkan atau tidak, tertantung subjek fotonya.

Sebagai akibat dari pencahayaan yang datar itu, tone atau nada foto ini juga kurang menimbulkan gelegar visual (visual impact). Anda lihat bahwa foto ini tidak memiliki true white (putih sejati). Nada abu-abu mendominasi ruang foto, dengan sedikit titik-titik hitam yang diwakili oleh patok-patok lampu di tepian setapak. Karena dominasi nada abu-abu itu, jangkauan nada (tonal range) foto ini dapat dikatakan terlalu banyak terkumpul di tengah. (Gradasi nada dari putih ke hitam melewati beberapa tahapan abu-abu, dan karena foto ini tidak banyak memiliki hitam dan sama sekali tidak memiliki putih sejati, maka foto ini didominasi oleh nada abu-abu yang dalam peta nada berada di tengah.).

Meskipun dari segi cahaya dan nada foto di atas kurang menarik, foto itu memiliki kekuatan dalam hal komposisinya. Perhatikan bagaimana kurva yang dibentuk oleh setapak mulai di kiri bawah bingkai melengkung hingga ke tengah frame untuk kemudian berbalik arah ke kiri atas membentuk diagonal sekaligus perspektif yang menciptakan ilusi kedalamam ruang dan mengarahkan mata masuk ke dalam ruang itu. Permainan kurva itu dibingkai oleh garis-garis vertikal dan horizontal tembok yang mengentikan penelusuran mata dengan manis.

Pelajaran yang dapat dipetik:
Pertama:
Ketika memotret di luar ruangan, perhatikan kondisi pencahayaan. Perhatikan arah dan kualitas cahaya. Pencahayaan yang datar akan cenderung menciptakan foto yang datar dan tidak berdimensi.

Kedua: Amati subjek sebelum Anda memotret. Temukan geometri garis, bidang, dan ruang – yang jelas terlihat maupun yang dapat dibayangkan – dan carilah sudut bidik (angle) yang dapat mempertemukan/memadukkan unsur-unsur itu dalam komposisi yang mampu menghadirkan gelegar visual.

Selamat mencoba dan nantikan pelajaran berikutnya!

Thursday, May 1, 2008

Kamus Istilah Fotografi 001: ALIASING dan ANTI-ALIASING

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan

Kawan-kawan:
Mulai Bulan Mei 2008 ini, setiap minggu JAGAT FOTOGRAFI akan membahas istilah-istilah yang sering dipakai dalam fotografi dalam rubrik KAMUS ISTILAH FOTOGRAFI. Mudah-mudahan pembahasan ini akan membantu kawan-kawan memahami dengan lebih baik konsep-konsep yang terkandung dalam istilah-istilah fotografi. Untuk minggu pertama bulan Mei 2008 ini, istilah yang akan dibahas adalah "aliasing" dan "anti-aliasing".

Aliasing (FD - Fotografi Digital)
Untuk memahami istilah aliasing, coba buka file foto yang mengandung garis diagonal atau objek yang berbentuk lingkaran dan perbesar foto itu. Pada titik perbesaran tertentu, kita akan mulai melihat gerigi di tepian garis diagonal atau objek berbentuk lingkaran itu. Garis diagonal atau pinggiran objek berbentuk lingkaran yang semula mulus, kini mulai tampak bergerigi. Fenomena inilah yang dalam fotografi digital disebut sebagai aliasing. Aliasing biasanya juga muncul/terlihat pada gambar/foto yang diambil dengan kamera beresolusi rendah. Lihal contoh foto berikut:



Jadi, aliasing adalah istilah yang mengacu pada femomena munculnya gerigi-gerigi pada garis diagonal atau tepian objek yang berbentuk lingkaran dalam foto digital. Gerigi-gerigi itu muncul karena piksel yang menyusun/membentuk gambar digital sebenarnya berbentuk kotak dan, seperti kita tahu, kita tidak mungkin membuat garis diagonal atau lingkaran bertepian mulus dengan bahan dasar kotak.

Anti-aliasing (FD - Fotografi Digital)
Anti-aliasing tentu punya arti sebaliknya dari aliasing. Tegasnya, anti-aliasing adalah upaya yang dilakukan untuk membuat gerigi di tepian garis diagonal atau objek yang berbentuk lingkaran itu menjadi tampak mulus. Semua kamera digital dilengkapi fasilitas anti-aliasing. Demikian juga perangkat lunak pengolah foto. Selain itu, aliasing juga dapat dihilangkan dengan filter yang khusus didesain untuk itu.

© Copyrights
Unless otherwise stated, the articles and photos in this blog are the copyright property of Eki Qushay Akhwan. All rights reserved. You may NOT republish any of them in any forms without prior permission in writing from Eki Qushay Akhwan.

Kecuali disebutkan secara khusus, hak cipta atas tulisan dan karya foto di dalam blog ini ada pada Eki Qushay Akhwan. Dilarang mempublikasi ulang artikel dan/atau karya foto di dalam blog ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Eki Qushay Akhwan.