Photo © Diane Arbus
Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan
Pada bagian pertama tulisan ini, sudah dikemukakan bahwa makna foto dibentuk oleh apa yang disebut “diskursus fotografis” – yaitu bahasa isyarat yang memiliki tata bahasa dan sintaksisnya sendiri, dan bahwa diskursus fotografis itu pada gilirannya juga berinteraksi dan merupakan bagian dari diskursus-diskursus lain yang menjadikan foto sebagai situs intertekstualitas (tempat bertemunya teks-teks lain). Oleh karena itu, dalam membaca foto, paling tidak ada dua tahapan yang harus dilakukan, yaitu (1) membaca foto berdasarkan diskursusnya sendiri (struktur internal, tata bahasa, atau sintaksis foto) dan (2) interaksi diskursus itu dengan diskursus-diskursus atau teks-teks lain, seperti budaya, sejarah, dan lain-lain yang melingkupi, membentuk, berinteraksi, mempengaruhi (dan dipengaruhi oleh) foto sebagai sebuah teks.
Artikel ini akan mencoba memperlihatkan bagaimana pembacaan foto dilakukan. Foto yang dipakai untuk contoh dalam pembacaan ini adalah foto karya Diane Arbus (1923 – 1971) yang berjudul Identical Twins (1967). Lihat foto di atas.
Di permukaan foto ini tampak biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa: Ini foto dua anak kembar serupa. Tapi jika diamati dan dibaca secara lebih cermat, maka kita akan melihat bahwa kesahajaan wujud subjek ternyata hanya sebuah ilusi permukaan.
Kembar berarti serupa, seperti benda dengan bayangan cerminnya. Pada pembacaan tingkat pertama foto ini, kekembaran itu tampak/direpresentasikan oleh dua hal: (1) objek dengan foto, di mana foto adalah kembaran/keserupaan/bayangan dari objek; (2) karena subjek foto ini adalah si kembar, maka masing-masing individu dari si kembar itu juga adalah bayangan/keserupaan/kembaran dari saudaranya.
Pembacaan pada tingkat pertama itu mulai menimbulkan pertanyaan: Kembar menyiratkan atribut identitas. Apakah kembar ini memiliki identitas yang sama?
Identitas dalam foto ini dihadirkan secara terbatas. Selintas tidak ada penanda apapun yang dapat menunjukkan identitas individu dari kedua kembar ini, kerena representasi yang dihadirkan dalam sebingkai foto itu telah dilepaskan dari konteks sosial dan historisnya. Di sana tidak ada penanda waktu dan tempat yang dapat memberikan petunjuk mengenai latar belakang pribadi dan sosial subjek. Sang fotografer telah menetralisir konteks eksistensi subjek. Satu-satunya elemen lain selain subjeknya sendiri adalah latar belakang tembok putih dan paving block.
Jika diamati, garis yang terbentuk antara tembok dan paving block agak miring. Inilah satu-satunya petunjuk yang dapat kita jadikan titik tolak pembacaan secara simbolik dan harfiah. Kemiringan itu menyiratkan pendekatan Arbus terhadap subjek.Garis itu menunjukkan bahwa, seperti halnya bahasa verbal, makna didapat bukan karena kesamaan yang rata dan simetris, tapi justru karena perbedaan. Identitas masing-masing pribadi si kembar yang menjadi subjek foto ini mulai terlihat jelas dari garis itu. Jika kita telusuri secara lebih teliti, perbedaan itu akan tampak pada hal-hal lain: Pribadi yang di kiri tampak sedih, sementara yang kanan terlihat gembira. Hidung dan wajah mereka juga berbeda. Perbedaan juga tampak pada kerah, lipatan baju, panjang lengan, stoking, alis, jari, rambut, dan pita rambut. Dengan kata lain, apa yang di permukaan tampak kembar, ternyata justru ingin mengatakan kepada kita bahwa makna kembar (dalam hal ini identitas individunya) justru didapat dari perbedaan, bukan kekembarannya.
Sumber:
Clarke, Graham. The Photograph. Oxford: Oxford University Press, 1997
Monday, June 23, 2008
Membaca Foto (Bagian Kedua)
Monday, June 16, 2008
Membaca Foto
Disadur oleh: Eki Qushay Akhwan
Apa yang terjadi ketika kita melihat sebuah foto sesungguhnya adalah serangkaian pembacaan yang kompleks, tidak hanya terhadap subjek fotonya saja, melainkan juga terhadap ekspektasi dan asumsi-asumsi yang melekat pada foto itu. Foto adalah sebuah teks yang dapat dibaca. Dan layaknya proses membaca, pembacaan foto melibatkan serangkaian proses pemaknaan dan relasi yang tidak sederhana antara pembaca dan teks (baca: foto) itu sendiri.
Sebuah foto mendapatkan maknanya melalui apa yang disebut sebagai “diskursus fotografis” – yaitu bahasa isyarat yang memiliki tata bahasa dan sintaksisnya sendiri (Burgin, 1982). Diskursus ini pada gilirannya juga merupakan bagian dari, dan bertautan dengan, diskursus-diskursus lain. Jadi sebuah foto, meskipun tampak seperti benda mati yang pasif, sesungguhnya merupakan situs intertekstualitas yang kompleks yang mempertemukan serangkaian teks-teks sebelumnya pada satu titik temu budaya dan sejarah.
Dengan pemahaman seperti di atas, sebuah foto tidak pernah menjadi representasi yang netral. Pada setiap tingkat pembacaan, foto dipenuhi oleh konteks ideologis yang mengonstruksi makna dan merefleksikan makna itu dalam stempel kekuasaan dan otoritas. Setiap foto mengandung “pesan fotografis” yang merupakan bagian dari “praktek signifikasi” yang mencerminkan isyarat, nilai, dan keyakinan-keyakinan dari suatu suatu budaya.
Oleh karen itu, ketika kita membaca sebuah foto, maka yang sesungguhnya terjadi adalah kita mencoba memasuki dan memahami serangkaian relasi yang tersembunyi pada ilusi yang diciptakan oleh foto itu. Dalam hal ini ada dua aspek yang perlu diingat, yaitu:
Pertama, foto merupakan karya seorang fotografer, yang tidak dapat bersikap pasif dalam menghasilkan karyanya. Sang fotografer, dalam hal ini, memasukkan, mencuri, dan mereka-ulang apa yang terlihat melalui kacamata diskursus budaya. Oleh karena itu, karya foto tidak pernah steril dari sudut pandang estetis, politis, dan ideologis tertentu.
Kedua, foto juga mengisyaratkan (mengandung isyarat) patokan-patokan referensi yang membentuk pemahaman kita terhadap terhadap dunia tiga dimensi (dunia nyata). Oleh karena itu, foto menjadi bagian dari acuan yang lebih luas yang tertaut dengan serangkaian konteks sejarah estetis, kultural, maupun sosial.
Bersambung …
Sumber:
Clarke, Graham. The Photograph. New York: Oxford University Press, 1997 (hal. 27 - 30).
Friday, June 13, 2008
Dekonstruksi Berburu Foto
Text and pictures ©Eki Qushay Akhwan
Dilarang mempublikasi ulang artikel dan foto dalam posting ini tanpa izin dari pemilik hak cipta.
Obsesi fotografer dengan hal-hal yang luar biasa sering membuat mereka lupa pada hal-hal biasa yang ada di sekitar mereka. Mereka sering meluangkan waktu khusus dan rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit hanya untuk sebuah perburuan yang diharapkan akan menghasilkan karya foto yang wah.
Tentu itu sah-sah saja. Kita semua – bukan hanya fotografer – memang perlu jeda dari rutinitas sehari-hari yang dapat membuat kita pelan-pelan lumpuh dan membusuk dari dalam. Namun, perburuan tidak harus selalu dibingkai dengan waktu dan biaya khusus. Fotografi sesungguhnya adalah seni melihat. Artinya, bukan objek (yang kemudian menjadi subjek foto kita) lah yang sesungguhnya indah atau wah, namun bagaimana kita melihatnya lah yang sebenarnya menentukan bagus tidaknya foto yang kita hasilkan.
Objek yang indah dan wah di tempat yang nun jauh memang menarik dan berpotensi besar untuk menghasilkan foto yang membuat penikmat foto berdecak kagum. Namun tidak semua objek yang indah akan menghasilkan foto yang indah. Semua bergantung pada bagaimana sang fotografer membingkainya ke dalam foto – bagaimana dia melihat dan menemukan elemen-elemen yang jika dikomposisikan secara jeli akan menghasilkan foto yang menggelegar. Inilah yang sering dilupakan oleh sebagaian fotografer, terutama fotografer pemula, yang sering beranggapan bahwa hanya objek yang indahlah yang akan membuat subjek foto yang indah. Mereka lupa pada esesi dasar fotografi sebagai seni melihat.
Jika kita menghayati betul fotografi sebagai seni melihat, maka seharusnya kita tidak selalu harus jauh-jauh berburu dan mencari objek foto yang secara inheren indah untuk dapat menghasilkan foto yang wah. Yang perlu dilatih adalah justru mata dan mata batin kita untuk dapat menemukan keindahan pada hal-hal biasa yang ada di sekitar kita. Inilah esensi fotografi. Inilah keahlian yang sesungguhnya harus dilatih dan dimiliki oleh seorang fotografer. Berburu foto tidak harus dimaknai sebagai kegiatan fisik, tapi kegiatan batin yang bertujuan mengasah kepekaan rasa.
Dengan mata dan mata batin yang peka, kita dapat melihat keindahan di mana-mana: di rumah, di tempat kerja, di jalanan macet yang menjengkelkan, bahkah di tempat-tempat kumuh yang sering menjijikkan bagi sebagian besar orang. Itulah yang sesungguhnya membedakan mata kita – mata fotografer – dari mata orang awam. Jika sebagai seorang fotografer atau peminat foto Anda masih menggunakan mata Anda seperti orang awam, maka jangan harap Anda akan mendapatkan foto yang indah, meskipun Anda telah pergi ke tempat yang jauh dengan biaya yang tidak kecil sekalipun.
I took this picture at a doctor's waiting room. Dreadful situation like a family member's being sick should not prevent us from seeing the beauty the word's offering us. All we need to do is open our mind's eye.
I took this picture and the picture at the top of this article at the office. An keen and observant eye should not be sored by an exhausting day at work.
Monday, June 9, 2008
Photo Essay: KRD, Commuter Train with Services
Text and pictures ©Eki Qushay Akhwan
It had been sometime since I had taken the KRD (Kereta Rel Diesel), the commuter train that serves Bandung and its vicinities, to commute between home and work. Convenience was the issue. However, the recent phenomenal hike in fuel prices, the worsening of traffic congestion (especially during the rush hours), and the messages of impending disasters caused by global warming pounded almost daily by the media had made me rethink about leaving the car and moped at home, and start taking the commuter train again. I must admit that apart from the rush-hour crowding and occasional delays, the KRD is actually the cheapest, the fastest (and quite probably the greenest) way to get to Bandung from the suburbs and the other way around. And so, this week I gave it a try again.
Like a memorable place revisited after years of being away, it was not surprising that the first ride gave me quite a new insight. Instead of the usual grumbles about the crowding, the noise, and the hygiene (which I used to feel), I actually began to see how wonderful this place was. For a 1000 rupiahs (about 9 cents US dollars), I couldn't ask for more of my money's value. Forget about the driving and the stressful traffic. Just sit there (or stand if there are no more seats), relax, and the train is going to take you into the city in literally minutes. And, if you happen to be a keen observer of human behaviors, this is just the perfect place to satisfy your curiosity. But wait, that's not the only good things you get here ............
The train literally gives you all the space you need to lug around what you wish to carry, like this man with his wooden sandals.
Candies or refreshment? They are ready on board, and offered with impeccable hospitality.
Leave you ipod at home if you wish. Life music is part of the service on board. You don't need to pay extra for this first class service. But yes, small tips are always appreciated.
And who needs movies if you could get life performances like this for free? (Well, tips are certainly welcome.)
You don't even need to worry about forgetting to bring your morning paper with you. Of course, this one is not free. But it's good to know that should you ever forget to bring your paper, there is someone who'd bring it for you.
And if you are a spiritual person who never feels good about passing a day without an act of benevolence or charity, don't worry ... there is ample opportunity to do that here.
There! What more can you ask for?
Sunday, June 8, 2008
A Review of JAGAT FOTOGRAFI from Astaganaga at Multiply dot Com
Astaganaga posted a review of JAGAT FOTOGRAFI yesterday. Thank you for the kind words and for giving a chance for JAGAT FOTOGRAFI to be introduced to a wider network of photo and photography bloggers and their readers.
Karolus Naga, the owner of the blog, is himself a very talented and visionary photographer whose other blog The Authorisdead - a photo blog - I am proud to include in my link of Fellow Indonesian Photograhers.
Note: The review is in Bahasa Indonesia.
Once again, thank you Naga.
Saturday, June 7, 2008
Camera Works: Unplugged
Pictures and text © Eki Qushay Akhwan
We - photographers - are keenly aware that the act of pointing our camera at our subjects has the effect of changing the nature of the subjects. At worse, they can become jittery and act strangely as if worried that the camera might catch them bare and naked. At best, they want to look better for the camera, acting out and putting a mask of superego compromise so that the camera might not see who they really are. Hence, we (or the camera) often fail to extract the essence that makes a personality unique.
There comes the questions: What if the camera was invisible? What would we see (camera capture) if our subjects were unaware of the camera presence?
Here are some pictures I recently took at a street festival in Bandung. I let the camera hang loose at the waist level, more or less. Technical control was minimal. Hence the shakes and loose exposures. In short, the camera was unplugged from my eye. The results are, as you can see, technically imperfect pictures; but, as you can also see, the technical imperfections, I think, are more than well compensated by what I can see through the faces. The camera unplugged, the subjects' masks off!
Thursday, June 5, 2008
Ada Apa dengan Kritik Fotografi?
Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan
Selama hampir dua abad sejak kehadirannya, fotografi masih terus-menerus menimbulkan kegamangan dan kontroversi di kalangan para kritikus. Di awal perkembangannya, kritikus yang mencoba memahami fotografi sebagai seni terbentur dengan ketiadaan paradigma estetika yang dapat dipakai untuk memahami fenomena baru itu. Penggunaan nilai-nilai estetis seni visual lama (seni lukis) untuk menilai fotografi hingga sekarang masih menimbulkan kontroversi yang sulit didudukkan. Sementara itu, usaha untuk mengonstruksi paradigma nilai estetis yang khas fotografi juga belum rampak (bukan tampak, tapi rampak). Kegamangan dan kontroversi juga terjadi karena, berbeda dengan seni lukis, fotografi juga mempunyai akar teknologi yang memberinya kemampuan mereplikasi secara massal reproduksi keserupaan yang dihasilkannya. Sifat ini memberi fotografi status khusus sebagai medium komunikasi yang memiliki akibat budaya (termasuk di dalamnya politik ekonomi dan sosial) yang luas.
Bagi para kritikus abad ke-19, sifat fotografi yang mampu mereproduksi keserupaan secara akurat dan berulang dirasakan sebagai ancaman terhadap kreatifitas dalam dunia seni visual (baca: seni lukis). Mereka memandang fotografi dengan kecurigaan, kemarahan, dan ketakutan. Sikap seperti itu tampak, misalnya, dari pendapat yang dikemukakan oleh pujangga dan kritikus Perancis Charles Baudelaire (1821 – 67) terhadap foto-foto yang dipamerkan dalam Salon 1859. Bagi Baudelaire, fotografi adalah “hukuman yang ditimpakan Tuhan yang murka atas orang-orang yang tidak sensitif”. Senada dengannya, Lady Elizabeth Eastlake, yang menulis di jurnal Quarterly Review pada tahun 1857, juga meragukan keswasembadaan fotografi sebagai medium kreatif. Baginya, kehadiran fotografi hanyalah pelengkap dengan nilai kreatifitas yang terbatas sebagai suatu medim. Pendapat-pendapat semacam itu mungkin dapat dipahami sebagai reaksi limbung para kritikus yang tidak (belum) memiliki paradigma mandiri yang dapat digunakan untuk membedah dan memahami medium baru itu. Akibatnya, mereka hanya dapat membandingkan dengan seni lukis dan masih meneropongnya dari kacamata kategori dan nilai-nilai yang diwarisi dari seni lukis.
Memasuki abad ke-20, kekhasan fotografi sebagai medium seni mulai diakui, paling tidak di kalangan sebagian kritikus yang menganggap fotografi sebagai medium yang mandiri yang berbeda dengan seni lukis. Pada masa ini, ada upaya keras untuk mengonstruksi nilai estetika fotografi berdasarkan sejarah perkembangannya. Namun demikian, jejak-jejak penilaian yang menggunakan paradigma diskursus seni visual (baca: seni lukis) masih belum dapat disingkirkan sepenuhnya hingga sekarang.
Di luar para kritikus yang mencoba mencari paradigma yang pas untuk menilai dan mendudukkan karya fotografi sebagai seni, ada kritikus-kritikus yang mencoba mendekati fotografi dari kacamata teknologi dengan segala konsekwensi budaya yang ditimbulkannya. Filsuf Amerika Oliver Wendell Holmes, misalnya, melihat fotografi sebagai alat tukar (currency) yang dapat mempertukarkan wujud permukaan dari semua objek, manusia, dan kejadian. (Mengenai hal ini akan dibahas dalam tulisan lain.) Beberapa kritikus lain seperti Walter Benjamin, Roland Barthes, dan Susan Sontag lebih tertarik pada (dan menjadi peolopor) pembacaan budaya dari fenomena fotografi.
Benjamin, filsuf dan kritikus Jerman yang gagasan-gagasannnya dianggap sebagai salah satu pencetus lahirnya kajian budaya dan teori media mengangkat isu konsekwensi politik budaya dari sifat teknologi fotografi yang mekanis dan replikatif. Dengan kemampuan fotografi yang seperti itu, menurutnya, orang tidak perlu lagi memiliki bakat atau gagasan orisinal untuk dapat menghasilkan karya seni. Karya estetis dapat lahir dari seseorang yang tidak memiliki bakat dan gagasan orisinal karena teknologi fotografi memungkinkan banyak orang untuk melakukan peniruan-peniruan yang bersifat mekanis. Baginya, kondisi ini adalah kondisi yang ideal bagi diwujudkannya “rumusan tuntutan revolusioner dalam politik seni.”. Dengan kata lain, karena seni secara ritualistik sekarang tidak lagi dikuasai dan didiktekan oleh kelompok elite tradisional (borjuis), maka seni secara inheren dapat dibangun di atas landasan dan menjadi senjata politik. Fotografi telah menjadi pemicu lahirnya demokratisasi dalam bidang seni yang, pada gilirannya, menjadi penyemai benih-benih yang menumbuhkan budaya populer, yaitu budaya yang melebur perbedaan antarkelas dan menyeret selera dan paradigma seni ke akar rumput di mana kelas atas dan menengah tidak lagi memiliki otoritas untuk mendiktekan kriteria dan hirarki seni.
Agak berbeda dengan Benjamin, Roland Barthes (1915 – 1980), filsuf dan kritikus pos-strukturalis Perancis dan penulis buku yang sering dianggap sebagai salah satu babon kritik fotografi Camera Lucida, memfokuskan perhatiannya pada karagaman dan kompleksitas makna yang dihasilkan oleh karya foto. Pemikiran Barthes yang paling terkenal dalam Camera Lucida barangkali adalah konsepnya mengenai makna simbolik foto (yang disebutnya “studium”) dan makna subjektif foto (yang disebutnya sebagai “punctum”) serta bagaimana keduanya menjadi lebur ketika pemaknaan subjektif dikomunikasikan kepada orang lain dan makna simboliknya dirasionalisasikan. Barthes juga melakukan pembacaan kritisnya terhadap foto-foto iklan dan merintis lahirnya gagasan mengenai mekanisme pembacaan yang mencoba mengungkapkan bagaimana cara foto-toto seperti itu membujuk audiensnya melalui apa yang disebutnya sebagai “makna tersirat” yang dapat digunakan untuk menciptakan kesan “kebenaran alamiah”.
Nama lain yang sering disebut dalam dunia kritik fotografi adalah Susan Sontag (1933 – 2004). Karya klasiknya On Photography (1977) barangkali menjadi salah satu buku kritik fotografi yang hingga sekarang sering disebut dan menjadi banyak acuan dari para kritikus dan pemerhati fotografi. On Photography pada dasarnya mengemukakan tiga pokok pikiran Sontag, yaitu (1) bahwa kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi fotografi dan membeludaknya jumlah foto telah memunculkan apa yang disebutnya sebagai “kode visual baru” atau perubahan “etika melihat,” yaitu berubahnya ekspektasi kita tentang apa yang pantas dilihat dan apa yang berhak kita lihat; (2) bahwa fotografi telah memberikan kepada kita pengetahuan visual lintas waktu dan lintas jarak yang sebelumnya tidak dapat diberikan oleh bahasa tulisan; dan (3) bahwa fotografi memiliki efek meniadakan/mengikis kepekaan audiennya. Dengan kata lain, sekali kita melihat, maka kejutan yang sama tidak akan pernah kita rasakan lagi terhadap gambaran yang sama.
Sejak tahun 1970an, minat terhadap kritik fotografi semakin berkembang. Fenomena ini ditandai antara lain oleh diakuinya kajian fotografi sebagai subjek akademik dan digunakannya paradigma filsafat dan teori lintasdisiplin, seperti linguistik, semiotika, psikoanalisis, analisa diskursus, dan historisitas.
Perkembangan teknologi digital dewasa ini juga memengaruhi kritik fotografi. Kemampuan manipulatif dan reproduktif serta diseminasi teknologi digital jelas telah secara substansial mereduksi status medium foto sebagai perekam jejak. Keadaan ini mungkin akan berakibat pada terkikisnya jatidiri kritik fotografi sebagai suatu diksursus yang koheren. Namun, bukan tidak mungkin juga bahwa kritik fotografi akan menemukan jalur dan menciptakan peta baru dalam perkembangannya.
Bibliografi:
Barthes, Roland. Camera Lucida: Reflections on Photography. New York: Farrar, Strauss and Giroux, 1981
Eastlake, Lady Elizabeth. “Photography.” London Quarterly Review (April 1857), pp 442-68. 31 May. 2008. <http://www.cis.yale.edu/amstud/inforev/eastlake.html>
Newhall, Baumont. The history of Photography. New York: The Museum of Modern Art, 2005
Roth, Nancy. “Criticism of Photography.” The Oxford Companion to the Photograph. Oxford: Oxford University Press, 2005.
Sontag, Susan. On Photography. London: Pinguin, 1997
Strinati, Dominic. Popular Culture: An Introduction to Theories of Popular Culture. London: Routledge, 1995
Wells, Liz (Ed.). Photography: A Critical Introduction. London: Routledge, 2004
Tuesday, June 3, 2008
Amelia Hapsari: Wanita dalam Fotografi Indonesia
Pengantar
Artikel berikut ini ditulis oleh Amelia Hapsari, seorang pembuat film indipenden asal Semarang dan lulusan program magister ilmu komunikasi dari Ohio University. Apa yang ditulisnya dalam artikel ini sejalan dengan salah satu poin yang pernah saya angkat dalam artikel saya "Menafsir Muatan Budaya Karya Fotografi Indonesia", dan menurut pendapat saya pantas untuk menjadi bahan renungan bagi para peminat dan praktisi fotografi Indonesia.
Saya telah berkirim email kepada dia meminta izin untuk mempublikasi ulang artikel ini. Hingga saat ini saya belum mendapat balasan. Mungkin karena alamat email yang diberikannya sudah tidak aktif (?). Mudah-mudahan dia tidak keberatan artikelnya saya publikasi ulang di blog ini.
Sekitar lima puluhan kamera diarahkan ke dua sosok tubuh wanita yang hanya dibungkus separuhnya. Dalam lima belas menit terdengarlah suara shutter-shutter ditekan yang dikalahkan oleh teriakan para pria di belakang kamera-kamera itu. “Mbak, senyumnya! Jangan lebar-lebar! Cool sedikit, jangan kelihatan giginya!” teriak pria berompi coklat. Yang lain tidak mau kalah,“Yak, kasih satu ke sini!” Pria gemuk berlensa tele menambahkan, “Ayo, daunnya dipegang, dirapatkan ke dada. Yak, bagus! Biar kelihatan telanjang!” Kemudian para pria itu tertawa mendengar komentar pria gemuk tadi.
Ini adalah potret kecil dari suasana lomba foto Susan Beauty Shot 2003 bulan Agustus lalu. Lomba foto ini diadakan di Bandungan, Jawa Tengah, kawasan perbukitan yang indah. Kebetulan saya adalah salah satu dari sekitar satu persen fotografer wanita dari seratus lima puluh peserta lomba foto ini. Mungkin orang-orang tidak heran, bahwa fotografer wanita sangat sedikit sekali dijumpai di Indonesia. Saya yakin orang-orang juga menganggap wajar bahwa semua model yang difoto pada lomba foto tersebut adalah wanita. Tetapi bagi saya tidak.
Dibesarkan sebagai seorang anak perempuan di Semarang, memberi saya banyak perspektif tentang bagaimana masyarakat yang masih didominasi pria (bukan darisegi jumlah populasi melainkan dari konteks kekuasaan) memandang wanita. Meskipun wanita sekarang sudah diberi kesempatan yang sejajar dalam pendidikan, tetapi selalu ada sebuah tempat sunyi yang dibangun untuk wanita, supaya setinggi apapun impian dan cita-cita mereka, mereka tetap menjadi seseorang yang menjalankan tugasnya dalam strata sosial: menyenangkan pria.
Entah sudah sejak kapan bangunan persepsi ini didirikan dan dipagari dengan kukuh oleh mitos-mitos dan norma-norma, tetapi sampai sekarang saya belum melihat banyak wanita yang berhasil keluar dari konstruksi ini. Mereka (atau mestinya saya bilang: kami) masih tetap berlomba-lomba menjadi cantik, bagaimanapun repotnya, sakitnya, atau mahalnya. Setelah menikah, bisnis itu-itu juga yang mereka jalani: menjadikan rumah nyaman, memberi dan mendidik anak-anak yang pintar dan manis, supaya suami betah di rumah.
Fotografi Indonesia, dalam pernanannya sebagai penyampai ide, ikut bekerja sama dengan sistem sosial ini untuk meminggirkan wanita. Saya berani bertaruh bahwa sebagian besar foto-foto portrait yang dihasilkan oleh fotografer Indonesia, yang sebagianbesar adalah pria, adalah foto-foto wanita dan ilusi tentang kecantikan wanita dan pribadi yang menyenangkan kaum pria. Wanita-wanita ini, bagaimanapun kepribadian aslinya, akan digambarkan sebagai figur lembut penuh pengabdian atau merangsang secara seksual. Sungguh aneh bahwa para wanita yang kadang tomboy dan keras tetap saja memiliki foto dengan gaun mekar dan gaya feminin, entah karena keinginan sendiri atau paksaan dari pihak lain (dalam hal ini, orang tua atau fotografer).
Pengalaman saya masuk berbagai macam studio foto di Indonesia atau melihat banyak karya-karya fotografer Indonesia di majalah menunjukkan bahwa para fotografer yang kebanyakan pria ini selalu mencitrakan wanita dalam foto dengan impian yang sama: seseorang yang menyenangkan laki-laki (baik dalam tugas sosial sebagai seseorang yang tunduk dan mengabdi, atau dalam tugas seksual).
Tentu saja kesan ini sangat subjektif. Orang lain boleh bilang ini hanya pendapat saya belaka. Toh ada juga fotografer-fotografer hebat yang karya-karyanya sangat artistik dan menampilkan aspek-aspek lain dari wanita. Tetapi kalau boleh dihitung dari prosentasenya, dan kalau boleh dilihat dari suasana yang dihadirkan di lomba-lomba foto beauty shot, pendapat saya ini sulit untuk dibantah.
Wanita Indonesia memang digambarkan secara sangat sepihak oleh fotografi Indonesia. Sepihak? Ya, karena hampir semua fotografer di Indonesia adalah laki-laki.
Ketika suatu kelompok yang memegang kekuasaan menjadi yang paling mampu dan paling banyak mendapat kesempatan untuk merepresentasikan kelompok lain yang relatif tidak berkuasa, gambar-gambar yang diproduksi hanya akan mengukuhkan kekuasaan yang dimiliki kelompok yang berkuasa itu. Gambar-gambar wanita dalam fotografi Indonesia adalah salah satu contohnya. Contoh lain bisa kita temui pada sejarah representasi ribuan tahun.
Tengoklah foto-foto orang Indian yang dibuat oleh kolonialis Inggris atau Spanyol pertama yang mendarat di benua Amerika. Orang-orang Indian ini digambarkan sebagai bangsa barbar yang tidak berbudaya. Padahal mereka adalah orang-orang berbudaya Maya, Aztec, dan Inca, yang telah mengenal sistem masyarakat yang tidak kalah rapi dan bernilai dibanding yang dimiliki bangsa-bangsa Eropa. Hal yang sama juga terjadi pada foto-foto orang pribumi Nusantara yang dibuat oleh kolonial Belanda. Foto-foto itu menunjukkan sebuah kelompok bangsa yang eksotis tetapi terbelakang.
Dalam lomba foto Susan Beauty Shot 2003, kesan yang sama saya tangkap dari bagaimana fotografer-fotografer pria ini memandang model-model wanitanya. Para fotografer ini memandang wanita-wanita ini sebagai objek yang menawan, yang ada di situ karena telah dibayar untuk menjadi properti foto mereka. Karena itu mereka berteriak-teriak seenak udel mereka dan bercanda dengan gaya mereka, tanpa memperhatikan apakah seorang wanita suka atau tidak dengan bahasa yang mereka gunakan. Karena hampir semua fotografer adalah laki-laki, dan para model yang semuanya wanita harus bersikap profesional dengan menunjukkan kemampuan untuk bekerja sama dengan fotografer manapun, termasuk yang paling tidak profesional sekalipun, tidak ada yang terang-terangan berkeberatan dengan situasi ini.
Saya keberatan.
Saya keberatan jika dalam suatu lomba foto, model-model wanitanya harus mengenakan baju minim, difoto, disiram hujan buatan, difoto, berbasah-basah dalam kedinginan, difoto, dan rela diarahkan oleh puluhan fotografer laki-laki dengan teriakan-teriakan yang tidak menempatkan mereka sebagai subjek foto: sumber keindahan yang dihargai sebagai pribadi.
Saya keberatan jika wanita di Indonesia terus-menerus digambarkan dan berusaha menggambarkan diri sebagai pemuas kesenangan laki-laki dengan keindahan seksual/fisik mereka. Karena wanita bukan hanya melulu tentang itu. Saya keberatan dengan konstruksi sadar yang terus-menerus diterapkan dan dilestarikan dalam fotografi dan cara-cara lain.
Bagi saya, fotografi adalah medium personal yang menumpahkan apresiasi saya tentang berbagai rasa yang hadir dalam hidup: kagum, takjub, sedih, marah, jijik, gembira, syukur, dan lain sebagainya. Kalau keindahan adalah tujuannya, maka proses menuju tercapainya keindahan itu harus memberi hormat dan pengertian kepada subjek keindahan itu, terutama jika subjek itu adalah suatu kelompok yang secara kultur dan politis telah dikesampingkan.
Membawa seseorang dalam sebuah foto adalah menampilkan apresiasi saya tentang dirinya. Ketika foto-foto tentang wanita hanya menggambarkan eksotika mereka sebagai objek seks atau sebagai sosok yang mengabdi, tentunya saya boleh mempertanyakan sejauh mana pria Indonesia menghargai kaum wanitanya.
Wajarlah kalau seorang antropolog Indonesia, Ariel Heryanto pernah berkata,” Di negara kami tubuh wanita bukan lagi milik wanita. Dada dan paha sudah dialokasikan untuk agen iklan dan wartawan. Vagina dan rahim adalah arena resmi untuk Program Nasional Keluarga Berencana, yang dikerjakan oleh para pria kami, di keluarga kami, dan dilaporkan oleh pemerintah kami sendiri untuk mendapatkan bantuan hutang luar negeri.” Fotografi ikut andil dalam pembentukan identitas wanita yang sepihak ini.
Kata-kata ini memang diucapkan ketika Pemerintah Orde Baru masih berkuasa, sedangkan sekarang mestinya adalah masa reformasi. Sudah seharusnya praktisi fotografi di Indonesia juga mulai mereformasi diri, menjadikan fotografi seni yang menghargai wanita, bukan sekedar mengeksploitasinya.
Unless otherwise stated, the articles and photos in this blog are the copyright property of Eki Qushay Akhwan. All rights reserved. You may NOT republish any of them in any forms without prior permission in writing from Eki Qushay Akhwan.
Kecuali disebutkan secara khusus, hak cipta atas tulisan dan karya foto di dalam blog ini ada pada Eki Qushay Akhwan. Dilarang mempublikasi ulang artikel dan/atau karya foto di dalam blog ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Eki Qushay Akhwan.