Tuesday, June 3, 2008

Amelia Hapsari: Wanita dalam Fotografi Indonesia


Pengantar
Artikel berikut ini ditulis oleh Amelia Hapsari, seorang pembuat film indipenden asal Semarang dan lulusan program magister ilmu komunikasi dari Ohio University. Apa yang ditulisnya dalam artikel ini sejalan dengan salah satu poin yang pernah saya angkat dalam artikel saya "Menafsir Muatan Budaya Karya Fotografi Indonesia", dan menurut pendapat saya pantas untuk menjadi bahan renungan bagi para peminat dan praktisi fotografi Indonesia.

Saya telah berkirim email kepada dia meminta izin untuk mempublikasi ulang artikel ini. Hingga saat ini saya belum mendapat balasan. Mungkin karena alamat email yang diberikannya sudah tidak aktif (?). Mudah-mudahan dia tidak keberatan artikelnya saya publikasi ulang di blog ini.

***

Sekitar lima puluhan kamera diarahkan ke dua sosok tubuh wanita yang hanya dibungkus separuhnya. Dalam lima belas menit terdengarlah suara shutter-shutter ditekan yang dikalahkan oleh teriakan para pria di belakang kamera-kamera itu. “Mbak, senyumnya! Jangan lebar-lebar! Cool sedikit, jangan kelihatan giginya!” teriak pria berompi coklat. Yang lain tidak mau kalah,“Yak, kasih satu ke sini!” Pria gemuk berlensa tele menambahkan, “Ayo, daunnya dipegang, dirapatkan ke dada. Yak, bagus! Biar kelihatan telanjang!” Kemudian para pria itu tertawa mendengar komentar pria gemuk tadi.

Ini adalah potret kecil dari suasana lomba foto Susan Beauty Shot 2003 bulan Agustus lalu. Lomba foto ini diadakan di Bandungan, Jawa Tengah, kawasan perbukitan yang indah. Kebetulan saya adalah salah satu dari sekitar satu persen fotografer wanita dari seratus lima puluh peserta lomba foto ini. Mungkin orang-orang tidak heran, bahwa fotografer wanita sangat sedikit sekali dijumpai di Indonesia. Saya yakin orang-orang juga menganggap wajar bahwa semua model yang difoto pada lomba foto tersebut adalah wanita. Tetapi bagi saya tidak.

Dibesarkan sebagai seorang anak perempuan di Semarang, memberi saya banyak perspektif tentang bagaimana masyarakat yang masih didominasi pria (bukan darisegi jumlah populasi melainkan dari konteks kekuasaan) memandang wanita. Meskipun wanita sekarang sudah diberi kesempatan yang sejajar dalam pendidikan, tetapi selalu ada sebuah tempat sunyi yang dibangun untuk wanita, supaya setinggi apapun impian dan cita-cita mereka, mereka tetap menjadi seseorang yang menjalankan tugasnya dalam strata sosial: menyenangkan pria.

Entah sudah sejak kapan bangunan persepsi ini didirikan dan dipagari dengan kukuh oleh mitos-mitos dan norma-norma, tetapi sampai sekarang saya belum melihat banyak wanita yang berhasil keluar dari konstruksi ini. Mereka (atau mestinya saya bilang: kami) masih tetap berlomba-lomba menjadi cantik, bagaimanapun repotnya, sakitnya, atau mahalnya. Setelah menikah, bisnis itu-itu juga yang mereka jalani: menjadikan rumah nyaman, memberi dan mendidik anak-anak yang pintar dan manis, supaya suami betah di rumah.

Fotografi Indonesia, dalam pernanannya sebagai penyampai ide, ikut bekerja sama dengan sistem sosial ini untuk meminggirkan wanita. Saya berani bertaruh bahwa sebagian besar foto-foto portrait yang dihasilkan oleh fotografer Indonesia, yang sebagianbesar adalah pria, adalah foto-foto wanita dan ilusi tentang kecantikan wanita dan pribadi yang menyenangkan kaum pria. Wanita-wanita ini, bagaimanapun kepribadian aslinya, akan digambarkan sebagai figur lembut penuh pengabdian atau merangsang secara seksual. Sungguh aneh bahwa para wanita yang kadang tomboy dan keras tetap saja memiliki foto dengan gaun mekar dan gaya feminin, entah karena keinginan sendiri atau paksaan dari pihak lain (dalam hal ini, orang tua atau fotografer).

Pengalaman saya masuk berbagai macam studio foto di Indonesia atau melihat banyak karya-karya fotografer Indonesia di majalah menunjukkan bahwa para fotografer yang kebanyakan pria ini selalu mencitrakan wanita dalam foto dengan impian yang sama: seseorang yang menyenangkan laki-laki (baik dalam tugas sosial sebagai seseorang yang tunduk dan mengabdi, atau dalam tugas seksual).

Tentu saja kesan ini sangat subjektif. Orang lain boleh bilang ini hanya pendapat saya belaka. Toh ada juga fotografer-fotografer hebat yang karya-karyanya sangat artistik dan menampilkan aspek-aspek lain dari wanita. Tetapi kalau boleh dihitung dari prosentasenya, dan kalau boleh dilihat dari suasana yang dihadirkan di lomba-lomba foto beauty shot, pendapat saya ini sulit untuk dibantah.

Wanita Indonesia memang digambarkan secara sangat sepihak oleh fotografi Indonesia. Sepihak? Ya, karena hampir semua fotografer di Indonesia adalah laki-laki.

Ketika suatu kelompok yang memegang kekuasaan menjadi yang paling mampu dan paling banyak mendapat kesempatan untuk merepresentasikan kelompok lain yang relatif tidak berkuasa, gambar-gambar yang diproduksi hanya akan mengukuhkan kekuasaan yang dimiliki kelompok yang berkuasa itu. Gambar-gambar wanita dalam fotografi Indonesia adalah salah satu contohnya. Contoh lain bisa kita temui pada sejarah representasi ribuan tahun.

Tengoklah foto-foto orang Indian yang dibuat oleh kolonialis Inggris atau Spanyol pertama yang mendarat di benua Amerika. Orang-orang Indian ini digambarkan sebagai bangsa barbar yang tidak berbudaya. Padahal mereka adalah orang-orang berbudaya Maya, Aztec, dan Inca, yang telah mengenal sistem masyarakat yang tidak kalah rapi dan bernilai dibanding yang dimiliki bangsa-bangsa Eropa. Hal yang sama juga terjadi pada foto-foto orang pribumi Nusantara yang dibuat oleh kolonial Belanda. Foto-foto itu menunjukkan sebuah kelompok bangsa yang eksotis tetapi terbelakang.

Dalam lomba foto Susan Beauty Shot 2003, kesan yang sama saya tangkap dari bagaimana fotografer-fotografer pria ini memandang model-model wanitanya. Para fotografer ini memandang wanita-wanita ini sebagai objek yang menawan, yang ada di situ karena telah dibayar untuk menjadi properti foto mereka. Karena itu mereka berteriak-teriak seenak udel mereka dan bercanda dengan gaya mereka, tanpa memperhatikan apakah seorang wanita suka atau tidak dengan bahasa yang mereka gunakan. Karena hampir semua fotografer adalah laki-laki, dan para model yang semuanya wanita harus bersikap profesional dengan menunjukkan kemampuan untuk bekerja sama dengan fotografer manapun, termasuk yang paling tidak profesional sekalipun, tidak ada yang terang-terangan berkeberatan dengan situasi ini.

Saya keberatan.

Saya keberatan jika dalam suatu lomba foto, model-model wanitanya harus mengenakan baju minim, difoto, disiram hujan buatan, difoto, berbasah-basah dalam kedinginan, difoto, dan rela diarahkan oleh puluhan fotografer laki-laki dengan teriakan-teriakan yang tidak menempatkan mereka sebagai subjek foto: sumber keindahan yang dihargai sebagai pribadi.

Saya keberatan jika wanita di Indonesia terus-menerus digambarkan dan berusaha menggambarkan diri sebagai pemuas kesenangan laki-laki dengan keindahan seksual/fisik mereka. Karena wanita bukan hanya melulu tentang itu. Saya keberatan dengan konstruksi sadar yang terus-menerus diterapkan dan dilestarikan dalam fotografi dan cara-cara lain.

Bagi saya, fotografi adalah medium personal yang menumpahkan apresiasi saya tentang berbagai rasa yang hadir dalam hidup: kagum, takjub, sedih, marah, jijik, gembira, syukur, dan lain sebagainya. Kalau keindahan adalah tujuannya, maka proses menuju tercapainya keindahan itu harus memberi hormat dan pengertian kepada subjek keindahan itu, terutama jika subjek itu adalah suatu kelompok yang secara kultur dan politis telah dikesampingkan.

Membawa seseorang dalam sebuah foto adalah menampilkan apresiasi saya tentang dirinya. Ketika foto-foto tentang wanita hanya menggambarkan eksotika mereka sebagai objek seks atau sebagai sosok yang mengabdi, tentunya saya boleh mempertanyakan sejauh mana pria Indonesia menghargai kaum wanitanya.

Wajarlah kalau seorang antropolog Indonesia, Ariel Heryanto pernah berkata,” Di negara kami tubuh wanita bukan lagi milik wanita. Dada dan paha sudah dialokasikan untuk agen iklan dan wartawan. Vagina dan rahim adalah arena resmi untuk Program Nasional Keluarga Berencana, yang dikerjakan oleh para pria kami, di keluarga kami, dan dilaporkan oleh pemerintah kami sendiri untuk mendapatkan bantuan hutang luar negeri.” Fotografi ikut andil dalam pembentukan identitas wanita yang sepihak ini.

Kata-kata ini memang diucapkan ketika Pemerintah Orde Baru masih berkuasa, sedangkan sekarang mestinya adalah masa reformasi. Sudah seharusnya praktisi fotografi di Indonesia juga mulai mereformasi diri, menjadikan fotografi seni yang menghargai wanita, bukan sekedar mengeksploitasinya.

2 comments:

Personal Contact said...

Betul,memang dunia fotografi kita dan juga bidang lain di negeri ini harus direformasi.........lebih bagus lagi direvolusi. Kaum wanita juga jangan mau bila ditawari pemotretan/foto yang kurang sesuai dengan budaya kita dan cenderung merendahkan martabat wanita itu sendiri.....Mohon ditambah tips-tips fotografinya
http://personalcontact.blogspot.com/

Unknown said...

setuju.,
motivasi yang membangun tu
tetap berkarya gan
jangan lupa kunjungi lapak ane juga ga
foto grafi
http://focuz-studio.blogspot.com

musik
http://hedomania.blogspot.com
thx gan

© Copyrights
Unless otherwise stated, the articles and photos in this blog are the copyright property of Eki Qushay Akhwan. All rights reserved. You may NOT republish any of them in any forms without prior permission in writing from Eki Qushay Akhwan.

Kecuali disebutkan secara khusus, hak cipta atas tulisan dan karya foto di dalam blog ini ada pada Eki Qushay Akhwan. Dilarang mempublikasi ulang artikel dan/atau karya foto di dalam blog ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Eki Qushay Akhwan.