Friday, April 25, 2008

Henri Cartier-Bresson: Mata Batin

Dikutip dan diterjemahkan oleh: Eki Qushay Akhwan

Kecuali dalam hal teknis, tidak ada yang berubah dalam fotografi sejak ditemukannya; dan bagi saya, perubahan teknis itu tidak penting.

Fotografi tampak seperti kegiatan yang gampang; kenyataannya fotografi melibatkan proses yang beragam dan ambigu di mana satu-satunya kesamaan di antara para pelakunya hanyalah instrumen yang mereka gunakan. Apa yang dihasilkan oleh alat perekam itu tidak lepas dari kendala-kendala ekonomi di dunia yang penuh kemubaziran, ketegangan-ketegangan yang semakin memuncak, dan akibat-akibat ekologis yang mengerikan.

Fotogarafi yang direkayasa atau diatur tidak menarik perhatian saya. Kalaupun saya melakukan penilaian, maka itu hanya pada tingkat psikologis atau sosiologis. Ada orang-orang yang mengambil foto-foto yang telah diatur sebelumnya. Ada orang-orang yang pergi keluar untuk menemukan gambar dan menangkapnya. Bagi saya, kamera adalah buku gambar, instrumen intuisi dan spontanitas, penguasa waktu yang, secara visual, mempertanyakan sekaligus memutuskan. Dalam upaya “memberi makna” pada dunia ini, seseorang harus merasakan dirinya terlibat dengan apa yang dibingkainya melalui jendela bidik. Sikap ini memerlukan konsentrasi, disiplin batin, dan kepekaan geometri – karena dengan segala keterbatasan lah manusia mampu mencapai kesederhanaan ekspresi. Dalam memotret, orang harus selalu bersikap hormat pada subjek dan pada dirinya sendiri.

Memotret adalah menahan napas ketika semua indra menyatu saat berhadapan dengan realitas yang begitu cepat berlalu. Memotret adalah momen di mana penguasaan terhadap suatu gambar menjadi kegirangan fisik dan intelektual yang luar biasa.

Memotret berarti mengenali – secara simultan dan dalam waktu sepersekian detik – fakta yang berada di depan mata dan susunan bentuk-bentuk yang kompleks yang dipersepsi secara visual dan memberinya makna. Memotret adalah meletakkan kepala, mata, dan hati pada aksis yang sama.

Bagi saya, memotret adalah sarana pemahaman yang tidak dapat dipisahkan dari sarana-sarana ekspresi visual lain. Memotret adalah cara berteriak, cara membebaskan diri, bukan cara pembuktian atau penegasan orisinalitas diri. Memotret adalah cara hidup.

Anarki adalah etika.

Budhisme bukan agama atau filsafat, tapi suatu medium pengendalian jiwa agar mencapai keselarasan dan, dengan jalan kasih sayang, mengabdikannya kepada orang lain.Saya tidak pernah mencintai fotografi untuk fotografi, tapi (saya mencintai fotografi) karena kemungkinan yang ditawarkannya – melalui peniadaan diri – untuk merekam dalam waktu sepersekian detik emosi subjek, dan keindahan bentuk; itulah geometri yang dibangkitkan oleh apa yang ditawarkan.

Bidikan foto adalah salah satu halaman buku gambar saya.

Sumber:
Cartier-Bresson, Henri. The Mind's Eye: Writings on Photography and Photographers. (New York: Aperture, 1998)

1 comment:

Anonymous said...

bagus sekali postingannya om .... apalagi bagian "mencintai fotografi dari apa yang ditawarkannya" ... saya baru belajar fotografi dan kalimat itu menyadarkan saya agar fotografi tidak menjadi sesuatu yang memabukkan...thumbs up

© Copyrights
Unless otherwise stated, the articles and photos in this blog are the copyright property of Eki Qushay Akhwan. All rights reserved. You may NOT republish any of them in any forms without prior permission in writing from Eki Qushay Akhwan.

Kecuali disebutkan secara khusus, hak cipta atas tulisan dan karya foto di dalam blog ini ada pada Eki Qushay Akhwan. Dilarang mempublikasi ulang artikel dan/atau karya foto di dalam blog ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Eki Qushay Akhwan.