Diterjemahkan dan dikutip oleh: Eki Qushay Akhwan
Subjek ada pada setiap peristiwa yang terjadi di dunia ini, termasuk pada jagad pribadi kita. Kita tidak dapat menegasikan subjek karena ia ada di mana-mana. Oleh karena itu, kita harus terbuka terhadap apa yang terjadi di dunia ini dan jujur terhadap perasaan kita sendiri.Subjek bukanlah kumpulan fakta, karena fakta sendiri tidaklah menarik. Namun melalui faktalah kita dapat memahami hukum-hukum yang mengaturnya, sehingga kita dapat lebih lihai memilih fakta-fakta yang esensial untuk mengomunikasikan realitas.
Dalam fotografi, hal terkecil sekalipun dapat menjadi subjek yang dahsyat. Detil rinci yang kecil tentang manusia dapat menjadi leitmotiv. Kita melihat dan mempertunjukkan dunia di sekitar kita; namun kejadian itu sendirilah yang sebenarnya membangkitkan ritme organik sang wujud.
Ada ribuan cara untuk menyarikan esensi dari sesuatu yang merebut perhatian kita. Kita tidak perlu membuat daftarnya. Biarkan dia tetap segar seperti apa adanya …
Ada satu wilayah yang tidak lagi dieksploitasi oleh seni lukis. Orang bilang, ini karena penemuan fotografi. Apapun sebabnya, fotografi telah mengambil sebagian dari wilayah itu dalam bentuk ilustrasi.
Salah satu jenis subjek yang sangat dipandang sebelah mata oleh para pelukis dewasa ini adalah potret. Jubah, topi tentara, dan kuda membuat para pelukis akademik sekalipun merasa muak. Mereka dibuat sesak napas oleh kancing-kancing sepatu boot para pelukis potret Zaman Victoria. Bagi para fotografer – mungkin karena kita berusaha mencapai sesuatu yang lebih fana nilainya ketimbang para pelukis itu – hal itu justru menggelikan, karena kita menerima kehidupan dalam segala realitasnya.
Orang punya dorongan kuat kuat untuk mengabadikan diri mereka sendiri melalui potret dan mereka berusaha menampilkan yang terbaik untuk anak cucu mereka. Namun dorongan seperti ini bercampur dengan rasa takut akan sihir hitam; perasaan takut bahwa dengan berpose di depan kamera untuk dipotret mereka menjejaskan diri sendiri terhadap guna-guna sihir atau yang semacamnya.
Salah satu hal yang paling mengesankan tentang potret adalah caranya menjiplak kesamaan manusia. Namun keabadian manusia sebenarnya berasal dari hal-hal eksternal yang memberinya identitas. Jika seorang fotografer ingin dapat menangkap refleksi sesungguhnya dari dunia seseorang – yang berada di luar dan di dalam diri orang tersebut – subjek potrait haruslah berupa situasi yang wajar bagi orang itu. Kita harus menghormati suasana yang melingkungi seorang manusia, dan mengintegrasikan habitat individu tersebut ke dalam potret, karena manusia, sebagaimana halnya satwa, mempunyai habitatnya sendiri. Di atas semua itu, orang yang berpose harus dibuat lupa tentang kamera yang ada di depannya dan fotografer yang mengoperasikan kamera itu. Keberadaan peralatan dan reflektor cahaya serta bermacam-macam perangkat keras yang rumit dapat menyebabkan kepribadian yang sesungguhnya tidak keluar.
Tidak ada yang lebih bersifat sementara dan terus berubah-ubah daripada mimik muka manusia. Kesan pertama yang tertangkap dari wajah seseorang seringkali merupakan yang kesan yang paling tepat; tapi fotografer harus selalu mencoba memberi substansi terhadap kesan pertama itu dengan tinggal bersama orang tersebut. Psikologi dan momen yang tepat sama pentingnya dengan posisi kamera sebagai faktor utama yang menentukan dalam pembuatan potret yang bagus. Menurut saya, sangat sulit menjadi fotografer potret bagi pelanggan yang memesan dan membayar, karena mereka ingin disenangkan, dan akibatnya menjadi tidak lagi riil. Orang yang berpose curiga dengan objektifitas kamera, sementara si fotografer berusaha menemukan gambaran psikologis yang tepat dari orang yang berpose itu.
Benar bahwa identitas tertentu ada dalam semua potret yang dibuat oleh seorang fotografer. Si fotografer mencari identitias dari orang yang berpose, namun pada saat yang sama juga berusaha mengekspresikan dirinya sendiri. Potrait yang sesungguhnya tidak menekankan yang lembut ataupun yang kasar, tapi justru merefleksikan kepribadian.
Saya jelas lebih suka foto-foto KTP yang ditempel berjejer-jejer di jendela tukang pas foto daripada potret yang dibuat-buat. Pada wajah-wajah itu, paling tidak, ada sesuatu yang menimbulkan pertanyaan, sebuah kesaksian faktual – inilah tempat identifikasi puitis yang kita cari.
Sumber:
Bresson, Henri-Cartier. The Mind's Eye: Writings on Photography and Photographers. (New York: Aperture, 1998)
Sunday, April 6, 2008
Henri Cartier-Bresson: Subjek
Posted by
Eki
at
3:11 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
© Copyrights
Unless otherwise stated, the articles and photos in this blog are the copyright property of Eki Qushay Akhwan. All rights reserved. You may NOT republish any of them in any forms without prior permission in writing from Eki Qushay Akhwan.
Kecuali disebutkan secara khusus, hak cipta atas tulisan dan karya foto di dalam blog ini ada pada Eki Qushay Akhwan. Dilarang mempublikasi ulang artikel dan/atau karya foto di dalam blog ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Eki Qushay Akhwan.
Unless otherwise stated, the articles and photos in this blog are the copyright property of Eki Qushay Akhwan. All rights reserved. You may NOT republish any of them in any forms without prior permission in writing from Eki Qushay Akhwan.
Kecuali disebutkan secara khusus, hak cipta atas tulisan dan karya foto di dalam blog ini ada pada Eki Qushay Akhwan. Dilarang mempublikasi ulang artikel dan/atau karya foto di dalam blog ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Eki Qushay Akhwan.
No comments:
Post a Comment