Saturday, April 26, 2008

Memahami Aspek Non-teknis Komposisi

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan

Ada dua unsur yang selalu hadir dalam foto yang bagus: komposisi dan cahaya. (Lihat "Pelajaran Fotografi #1: Elemen-elemen Komposisi" di Blog ini.) Oleh karena itu, kemahiran mengomposisi merupakan salah satu hal yang harus dimiliki fotografer handal.

Bagi sebagian orang – orang-orang dengan kecerdasan ruang (spatial intelligence) yang tinggi, kemahiran mengomposisi barangkali merupakan bakat yang sudah dibawa dari lahir. Namun itu tidak berarti bahwa orang-orang dengan kecerdasan ruang yang rendah tidak bisa menguasai kemahiran komposisi.Teknik komposisi bisa dipelajari dan bukan sesuatu yang rumit. Ada rumus-rumus dasar yang bisa diikuti dan jika dipraktekkan dan dilatih secara terus menerus, akan melahirkan kemahiran yang memadai untuk dapat menghasilkan karya fotografi yang bagus.

Kemahiran Komposisi
Menurut Henri Cartier-Bresson (1998: 32), kemahiran komposisi pada dasarnya adalah kemampuan untuk membangun/menciptakan secara cermat hubungan antarunsur. Dalam fotografi (dan seni rupa pada umumnya), kemampuan semacam itu berakar pada kemampuan mengenali ritme di dunia nyata. Dunia nyata tersusun dari sejumlah besar realitas atau fakta. Tugas fotografer dalam hal ini adalah memusatkan perhatian pada subjek yang terselip di antara berjibun fakta itu dan mengenali serta menemukan momen atau ritme yang dapat menyatukan beragam elemen pembentuknya menjadi suatu kesatuan yang utuh. Komposisi, dengan demikian, adalah “koalisi simultan [dan] koordinasi organik dari elemen-elemen yang dilihat oleh mata.” (Cartier-Bresson, Op cit.). Komposisi tidak berada di luar subjek. Dalam subjek terkandung bentuk dan isi yang secara “simultan” dan “organik” menjadi nyawa komposisi fotografi.

Gerak dan Momen Komposisi
Pada subjek yang bergerak, gerakan-gerakkannya menghasilkan garis-garis instan yang bersifat plastis. Menghadapi subjek yang demikian, fotografer harus mampu bergerak seirama dengan gerak yang diciptakan oleh irama kehidupan subjek, dan menemukan suatu momen di mana gerakkan subjek mencapai titik ekuilibrium yang harmonis. Di saat seperti itulah, fotografer menekan tombol rana dan membekukan momen itu dalam foto. Momen yang menentukan itulah yang kemudian melahirkan apa yang disebut Cartier-Bresson sebagai “decisive moment” (momen yang menentukan). Inilah momen yang menentukan ada tidaknya pola geometris yang memberi nyawa pada suatu foto.

Untuk mendapatkan komposisi yang terbaik, mata dan mata batin sang fotografer harus terus-menerus mengamati dan mengevaluasi subjek dan irama kehidupannya. Fotografer dapat menemukan titik harmoni komposisi dengan beberapa cara yang kelihatannya sepele, namun memiliki akibat besar dalam komposisi. Gerakan kepala sepersekian milimeter, misalnya, mampu mempertemukan garis-garis yang menciptakan harmoni komposisi. Gerakan menekuk lutut beberapa senti dapat mengubah perspektif komposisi. Demikian juga gerakan mendekatkan atau menjauhkan kamera dari subjek dapat memunculkan atau meniadakan detil yang berarti dalam merepresentasikan si subjek. Yang perlu diingat adalah, bagi fotografer handal paling tidak, semua proses itu berlangsung secara intuitif dan dalam waktu yang nyaris reflek, sesingkat waktu yang dibutuhkan untuk menekan tombol rana.


Friday, April 25, 2008

Henri Cartier-Bresson: Mata Batin

Dikutip dan diterjemahkan oleh: Eki Qushay Akhwan

Kecuali dalam hal teknis, tidak ada yang berubah dalam fotografi sejak ditemukannya; dan bagi saya, perubahan teknis itu tidak penting.

Fotografi tampak seperti kegiatan yang gampang; kenyataannya fotografi melibatkan proses yang beragam dan ambigu di mana satu-satunya kesamaan di antara para pelakunya hanyalah instrumen yang mereka gunakan. Apa yang dihasilkan oleh alat perekam itu tidak lepas dari kendala-kendala ekonomi di dunia yang penuh kemubaziran, ketegangan-ketegangan yang semakin memuncak, dan akibat-akibat ekologis yang mengerikan.

Fotogarafi yang direkayasa atau diatur tidak menarik perhatian saya. Kalaupun saya melakukan penilaian, maka itu hanya pada tingkat psikologis atau sosiologis. Ada orang-orang yang mengambil foto-foto yang telah diatur sebelumnya. Ada orang-orang yang pergi keluar untuk menemukan gambar dan menangkapnya. Bagi saya, kamera adalah buku gambar, instrumen intuisi dan spontanitas, penguasa waktu yang, secara visual, mempertanyakan sekaligus memutuskan. Dalam upaya “memberi makna” pada dunia ini, seseorang harus merasakan dirinya terlibat dengan apa yang dibingkainya melalui jendela bidik. Sikap ini memerlukan konsentrasi, disiplin batin, dan kepekaan geometri – karena dengan segala keterbatasan lah manusia mampu mencapai kesederhanaan ekspresi. Dalam memotret, orang harus selalu bersikap hormat pada subjek dan pada dirinya sendiri.

Memotret adalah menahan napas ketika semua indra menyatu saat berhadapan dengan realitas yang begitu cepat berlalu. Memotret adalah momen di mana penguasaan terhadap suatu gambar menjadi kegirangan fisik dan intelektual yang luar biasa.

Memotret berarti mengenali – secara simultan dan dalam waktu sepersekian detik – fakta yang berada di depan mata dan susunan bentuk-bentuk yang kompleks yang dipersepsi secara visual dan memberinya makna. Memotret adalah meletakkan kepala, mata, dan hati pada aksis yang sama.

Bagi saya, memotret adalah sarana pemahaman yang tidak dapat dipisahkan dari sarana-sarana ekspresi visual lain. Memotret adalah cara berteriak, cara membebaskan diri, bukan cara pembuktian atau penegasan orisinalitas diri. Memotret adalah cara hidup.

Anarki adalah etika.

Budhisme bukan agama atau filsafat, tapi suatu medium pengendalian jiwa agar mencapai keselarasan dan, dengan jalan kasih sayang, mengabdikannya kepada orang lain.Saya tidak pernah mencintai fotografi untuk fotografi, tapi (saya mencintai fotografi) karena kemungkinan yang ditawarkannya – melalui peniadaan diri – untuk merekam dalam waktu sepersekian detik emosi subjek, dan keindahan bentuk; itulah geometri yang dibangkitkan oleh apa yang ditawarkan.

Bidikan foto adalah salah satu halaman buku gambar saya.

Sumber:
Cartier-Bresson, Henri. The Mind's Eye: Writings on Photography and Photographers. (New York: Aperture, 1998)

Thursday, April 24, 2008

Ada Apa dengan Judul Foto?

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan

Judul karya foto bisa banyak bercerita tentang suatu foto. Mungkin pernyataan ini bertentangan dengan kredo yang umum diterima di kalangan fotografer, seperti biarkan foto yang berbicara, atau a picture speaks a thousand words. Namun tidak dapat disangkal, penjudulan yang asal-asalan bisa merusak citra suatu karya. Bayangkan, suatu foto yang secara teknis fotografis sempurna, diberi judul "'Duuuh a'a...terus a' dikit lagi...." atau "BAPAK .....!!!! [Bantuin Aku Pegangin Anoe Kak !!!]," atau judul-judul lain yang senada itu. Keruan saja, karya foto yang sebenarnya artistik itu hanya jadi sebuah representasi keisengan yang berasosiasi dengan citra selera rendah yang tidak mencerminkan ketinggian nilai artistik foto yang bersangkutan.

Memang benar, penjudulan adalah hak fotografer. Apapun judul yang dipilih sang fotografer untuk karyanya, sah-sah saja. Namun ada baiknya para fotografer mempertimbangkan dengan matang judul untuk karyanya, karena selain dapat memberikan citra murahan, penjudulan yang asal-asalan juga bisa mengisyaratkan bahwa si fotografer tidak mempunyai gagasan, konsep, atau previsualisasi yang jelas tentang karya yang dihasilkannya. Padahal, gagasan atau konsep adalah hal utama yang membedakan seorang snapshooter dan fotografer. A snapshooter takes pictures. Snapshooting bisa dilakukan oleh siapa saja. Syaratnya cuma satu, yaitu kemampuan untuk memegang dan mengoperasikan kamera. Setelah itu, jepret, jepret, jepret …, maka jadilah foto-foto yang apa adanya. Di antara foto-foto itu, mungkin saja ada yang bagus dan istimewa. Namun karena tidak dilandasi oleh suatu gagasan atau previsualisasi yang jelas, maka foto semacam itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu karya seni, karena karya seni pada umumnya dilandasi oleh suatu inspirasi atau gagasan, yang dalam fotografi sering disebut sebagai previsualisasi.

Berbeda dengan snapshooter, seorang fotografer menciptakan foto (a photographer makes pictures). Perbedaan mendasar antara take dan make, sebagaimana sering diulas dalam artikel-artikel mengenai fotografi, adalah adanya unsur gagasan atau pravisualisasi yang melandasi penciptaan suatu karya foto. Previsualisasi bisa jadi berlangsung lama dan melibatkan perencanaan yang matang dari segi komposisi, pencahayaan, set, dan sebagainya. Hal ini biasa dilakukan oleh para fotografer profesional. Para fotografer di National Geographic, misalnya, diketahui melakukan perencanaan berbulan-bulan sebelum melaksanakan tugas peliputannya. Fotografer legendaris seperti Ansel Adams pun diketahui melakukan hal serupa. Demikian juga fotografer produk yang bekerja di bidang periklanan, fesyen, dan glamor. Meskipun demikian, pembentukan gagasan dan previsualisasi tidak selalu harus berlangsung lama. Para jurnalis foto kelas dunia dapat menciptakan pravisualisasi ini dalam hitungan waktu yang nyaris spontan ketika melihat momen penting yang berlangsung di hadapannya. Intuisi previsualisasi seperti itu tentu tidak didapat dengan tiba tiba, namun dengan pengalaman yang melatih ketajaman intuisi itu.

Kembali ke masalah penjudulan, seorang fotografer yang mempunyai gagasan yang jelas tentang fotonya umumnya tidak akan mengalami kesulitan berarti untuk memberi judul pada fotonya karena dia tahu betul esensi gagasan yang melandasi lahirnya karya fotonya itu. Namun, sekali lagi, penjudulan adalah hak prerogatif fotografer. Bisa jadi fotografer yang tahu betul esensi gagasan fotonya memilih untuk tidak memberikan judul pada fotonya NT (no tittle), dengan harapan para penikmat karya fotonya bisa mengeksplorasi dan menafsikan sendiri kedalam makna karya yang bersangkutan.

Foto yang tanpa judul (NT) menurut saya mempunyai kesempatan lebih baik untuk diapresiasi dibandingkan dengan foto yang diberi judul asal-asalan. Ketiadaan judul membuat orang berpikir dan menjelajah makna yang tersembunyi di balik representasi visual foto. Sementara itu, foto dengan judul asal-asalan langsung menciptakan prasangka (prejudgment) jelek mengenai foto ini. Di antara kedua ekstrem ini, foto-foto dengan judul yang baik akan membimbing penikmat foto untuk mengapresiasi keindahan dan makna foto yang ada di hadapannya. Judul yang baik bisa diibaratkan seperti sebuah pintu yang membukakan mata dan hati para penikmat karya foto relung-relung yang tersembunyi di balik tembok visual dua dimensi yang disebut foto.

Judul dalam hal ini bisa diibaratkan sebagai kemasan produk. Sebagus apapun suatu produk, bila kemasannya asal-asalan, maka citra yang ditimbulkannya akan buruk. Akibatnya, produk tersebut tidak akan banyak ditengok, apalagi dibeli. Hal tersebut juga/terutama berlaku bagi suatu karya seni seperti fotografi, karena apa yang ditawarkan oleh suatu karya seni sebenarnya adalah citra. Suatu karya seni mempunyai nilai tinggi karena asosiasinya dengan citra selera yang tinggi, berkelas dan eksklusif. Bayangkan, misalnya, karya masterpiece Leonardo Da Vinci "Monalisa" diberi judul, "What?s Up, Dude?" atau "Apa lo lihat-lihat?" atau "Suka ga ma gue?" Tentu citra yang ditimbulkannya akan berbeda.

Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana judul yang baik dan pantas itu? Apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam memberi judul pada suatu karya foto? Rambu-rambu berikut mungkin bisa memberi sedikit petunjuk tentang apa yang perlu diperhatikan dalam penjudulan foto. Sekali lagi, apa yang dikemukakan di sini hanya rambu-rambu. Kita sebagai fotografer tetap memiliki hak prerogatif penuh untuk memberikan judul apapun yang kita mau bagi karya kita.

Rambu pertama yang perlu diperhatikan dalam memberikan judul bagi karya Anda adalah, sedapat mungkin hindari mendeskripsikan apa yang ada di dalam foto, seperti Si Fulan Pergi ke Pasar atau Negeri Antah Berantah di Malam Hari. Deskripsi semacam ini cenderung memiliki banyak kelemahan untuk digunakan sebagai judul karya foto. Selain boros kata (klobot dan verbalis), usaha untuk memverbalkan apa yang ada di dalam foto akan mengambil sebagian besar energi visual yang ada di dalam foto dan membatasi interpretasi dan apresiasi penikmat foto. Kata-kata deskriptif itu seolah-olah menjadi tembok yang memagari penikmat foto dalam penjelajahan visualnya. Oleh karena itu, deskripsi cenderung mematikan nyawa foto.

Namun demikian, bukan berarti deskripsi tidak boleh dipakai sama sekali. Kalaupun dengan terpaksa Anda harus menggunakan deskripsi dalam judul karya foto Anda, usahakan agar deskripsi itu tidak boros kata. Pilih satu atau dua kata yang padat dan mewakili esensi karya Anda tanpa harus memberikan pra-batas yang membelenggu penjelajahan makna dan keindahan foto oleh penikmatnya. Satu kata seperti "Pasar" mungkin akan membuat penikmat foto lebih penasaran dan ingin menjelajahi dan menemukan elemen-elemen foto yang merepresentasikan kata itu, ketimbang, misalnya, "Si Fulan Pergi ke Pasar".

Kalau kebetulan Anda menguasai suatu bahasa asing dengan baik, mungkin Anda bisa menggunakan kata dalam bahasa asing itu yang mampu mewakili esensi visual foto Anda. Penggunaan bahasa asing ada plus minusnya. Di satu sisi, kata dalam bahasa asing bisa memberi kesan eksklusif. Namun, di sisi lain, penggunaan kata asing bisa jadi membuat orang tidak mengerti sama sekali pesan yang ingin Anda sampaikan, sehingga judul yang Anda pakai itu efeknya sama saja dengan membiarkan foto Anda tanpa judul alias NT (no title). Satu hal lagi yang perlu diperhatikan jika Anda ingin menggunakan bahasa asing sebagai judul foto adalah, memastikan bahwa istilah, frasa atau kata asing yang Anda pakai itu dipakai dengan tepat dan cermat, karena penggunaan bahasa asing yang tidak tepat dan cermat justru bisa menjatuhkan citra Anda (kurang berpendidikan) dan citra karya Anda (judul asal-asalan).

Rambu kedua yang mungkin bisa dipakai sebagai patokan dalam penjudulan karya foto adalah, hindari kata-kata atau frasa yang cliche karena sudah sering dipakai oleh orang lain, iklan, dan yang sejenisnya. Karena seringnya suatu kata atau frase dipakai, dan karena tingkat kepopulerannya yang tinggi, kata-kata seperti itu seringkali menjadi terlau encer (diluted) maknanya dan kurang mampu memberikan kejutan yang mampu mengetuk pintu mata dan hati penikmat karya foto Anda.

Rambu ketiga yang mungkin tidak kalah pentingnya dalam mengangkat citra karya foto Anda adalah kesantunan. Kesantunan selalu diasosiasikan dengan peradaban yang tinggi. Oleh karena itu, cobalah usahakan agar judul yang Anda pilih untuk karya foto Anda mencerminkan kesantunan Anda berbahasa. Judul-judul seperti "Duuuh a'a...terus a' dikit lagi...." atau "BAPAK .....!!!! [Bantuin Aku Pegangin Anoe Kak !!!]," meskipun bisa jadi lucu dan sensasional, namun karena vulgar dan tidak santun, akhirnya hanya memberi kesan (maaf) murahan yang menjatuhkan citra karya foto yang bersangkutan.

Berikut ini akan saya sajikan dua contoh kasus penjudulan yang ada dalam portofolio saya. Mudah-mudahan bermanfaat sebagai ilustrasi.

Contoh 1: STEMPEL

Foto ini saya beri judul STEMPEL, karena kebetulan di dalam foto ada kata itu. Tapi bukan hanya itu. Kata STEMPEL saya anggap mewakili keseluruhan foto karena orang ini tukang stempel yang mengerjakan stempel dan di sekitarnya terpajang stempel-stempel hasil karyanya. Sebagai fotografer, tentu saya bisa saja menjuduli foto ini "Bekerja Keras" atau "Konsentrasi Penuh" untuk menunjukkan bahwa tukang stempel ini sedang bekerja keras atau bekonsentrasi penuh. Namun kedua frase ini terlalu membatasi perhatian pemirsa hanya pada pekerjaan yang sedang dilakukan oleh tukang stempel ini, tanpa memperhatikan produk dan gerobak kedai yang menjadi bagian tak terpisahkan dari pekerjaan bapak ini.

Contoh 2: JAYWALK #2

Foto ini bisa saja saya beri judul "Menyeberang", "Nekad" atau "Menerobos Bahaya". Namun ketiga kata dan frasa di atas saya anggap tidak seutuhnya mewakili esensi foto. Kata menyeberang, misalnya, terlalu luas artinya. Orang bisa menyeberang di tempat yang ditentukan atau, seperti orang-orang ini, menyeberang tidak pada tempatnya. Demikian juga kata Nekad atau Menerobos Bahaya. Bentuk kenekadan dan menerobos bahaya ada bermacam-macam. Jadi kalau saya pakai judul Nekad atau Menerobos Bahaya konotasinya terlalu luas sehingga tidak mewakili esesi dasar foto. Saya pilih kata "jaywalk" (Bahasa Inggris yang artinya menyeberang tidak pada tempatnya), karena kata ini singkat, padat, dan mewakili esensi visual dan pesan yang ingin disampaikan oleh foto ini.

Semoga bermanfaat!

Menafsir Muatan Budaya Karya Fotografi Indonesia

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan

Masyarakat awam sering mengganggap karya foto sebagai artefak yang objektif, dalam arti bahwa apa yang tercetak pada kertas foto atau ditampilkan pada layar monitor selalu menggambarkan realitas sebagaimana adanya. Anggapan ini cukup beralasan karena foto dihasilkan oleh alat rekam (kamera) yang merekam apa saja yang ada di hadapannya. Mereka lupa bahwa di belakang kamera ada fotografer manusia yang juga dikendalikan oleh rasa, pikiran, dan pengalaman pribadi serta diikat oleh budaya masyarakatnya. Semua aspek ini ikut bermain ketika seorang fotografer melihat ke jendela bidik, mengatur komposisi dan pencahayaan serta menekan tombol rana. Oleh karena itu pada dasarnya tidak ada karya foto yang bersifat objektif. Semua karya foto selalu bersifat inflektif dan parsial, serta mencerminkan cara pandang fotografer atas dunianya. Menafsirkan karya foto pada dasarnya adalah mengungkap infleksi pribadi dan budaya sang fotografer.

Seperti halnya dalam menafsirkan karya sastra atau karya seni lain, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menafsirkan karya foto, seperti pendekatan Marxis, pendekatan feminis, pendekatan psikoanalisis, pendekatan formalis, dan lain-lain.

Salah satu pendekatan dasar yang umum digunakan untuk menafsirkan karya foto adalah pendekatan teknik fotografi: teknik apa yang digunakan oleh fotografer untuk menghasilkan karya fotonya dan bagaimana hal-hal yang bersifat teknis ini memberi makna pada karyanya. Termasuk dalam pendekatan teknis ini adalah pilihan subjek (apakah model, manusia, perempuan, laki-laki, anak-anak, binatang, pemandangan alam, pemandangan kota , dsb.), komposisi dan sudut pandang (sudut lebar atau tele, panoramic atau close up), pilihan medium (slide, film negatif, digital, dsb.), dan sebagainya. Pendekatan ini bisa diterapkan pada karya foto seorang fotografer maupun sekelompok fotografer yang berlatar budaya sama.

Jika pendekatan ini digunakan untuk membaca atau menafsirkan foto-foto yang dimuat di FN (http://www.fotografer.net/) dan kita asumsikan bahwa sebagai klub fotografi yang cukup besar di Indonesia, FN cukup mewakili populasi umum masyarakat penggemar fotografi di Indonesia, kita akan segera dapat melihat bahwa karya-karya fotografer Indonesia secara umum mempunyai ciri khas yang dapat ditafsirkan muatan budayanya.

Hasil pengamatan saya di FN selama kurang lebih dua bulan menunjukkan bahwa subjek favorit fotografer Indonesia pada umumnya adalah pemandangan alam dan foto-foto dengan model perempuan. Secara lebih spesifik foto pemandangan alam paling favorit adalah foto matahari terbenam, laut, gunung, hutan, dan sawah yang diambil dengan format horizontal atau panoramik dengan menggunakan lensa sudut lebar atau sangat lebar. Hampir setiap hari kita selalu dapati foto-foto baru dengan pilihan subjek semacam ini dimuat ke situs FN, baik dari fotografer yang sudah sangat mapan secara teknis maupun dari penggemar-penggemar baru fotografi yang sedang dalam taraf belajar dan mencari jati diri ekspresi fotografisnya. Kesimpulan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa foto-foto dengan dengan kategori ini menempati urutan kedua tertinggi perolehan skor setelah foto-foto dengan model perempuan.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa di Indonesia konsep foto sebagai karya seni secara umum masih dipengaruhi oleh subject matter tradisional karya seni lukis yang dalam budaya kita secara tradisional cenderung beraliran naturalis dan menempatkan pemandangan alam sebagai salah satu dari sedikit subjek yang paling sahih direpresentasikan dalam karya seni visual. Karya-karya di luar kategori ini secara umum dapat dikatakan kurang mendapat perhatian jika dilihat dari rata-rata perolehan skornya.

Foto dengan subject matter model perempuan yang tingkat popularitasnya paling tinggi di FN menunjukkan bahwa budaya Indonesia secara umum adalah budaya patriakal, yaitu budaya dimana laki-laki menempati posisi utama di ruang domestik (rumah tangga) maupun ruang publik. Posisi laki-laki sebagai pemimpin dalam hal ini mensahihkan eksploitasi keindahan perempuan untuk kesenangan laki-laki, dan tidak sebaliknya. Pengamatan saya menunjukkan bahwa di antara puluhan ribu foto yang telah dimuat di FN hanya ada satu atau dua foto di mana keindahan tubuh laki-laki secara eksplisit dieksploitasi dalam sebuah karya foto dan, seperti bisa ditebak, karya foto ini hampir tidak dihiraukan, bahkan dilecehkan sebagai sebuah penyimpangan meskipun secara teknis fotografis foto tersebut sebenarnya cukup menarik.
Kenyataan ini sangat kontras dengan karya-karya foto yang menonjolkan keindahan tubuh perempuan yang kadang-kadang meskipun secara teknis fotografis tidak istimewa hampir selalu mendapatkan respon dan sorakan yang positif dari anggota-anggota FN.

Selain menunjukkan karakter patriakal budaya kita, popularitas foto yang mengeksploitasi keindahan tubuh perempuan di antara pehobi fotografi juga menunjukkan bahwa fotografi di Indonesia masih menjadi hobi yang didominasi oleh laki-laki, dan oleh karena itu masih bersifat maskulin. Meskipun secara proporsional anggota FN banyak yang perempuan, mereka bisa dikatakan tidak mempunyai suara khas yang bisa meneriakkan suara perempuan dalam karya-karya mereka. Mereka lebur dalam arus besar budaya patriakal yang menempatkan perempuan dalam posisi yang marjinal.

Sebagai penutup perlu dicatat bahwa tafsir ini tidak bersifat absolut. Di dunia yang semakin terbuka dan saling berkait lewat jaringan maya sekarang ini, beragam gaya fotografi akan terus selalu mempengaruhi perkembangan fotografi Indonesia. Pengaruh itu terutama datang dari situs-situs fotografi yang semakin marak di dunia saiber. Paparan karya-karya foto dengan beragam bentuk dan pendekatan dapat menjadi inspirasi yang dapat memperluas cakrawala inspirasi fotografer Indonesia dalam memilih pendekatan teknis untuk karya-karya fotonya. Sebagi situs fotografi utama Indonesias, FN - terutama para administratornya - dapat memainkan peranan strategis dalam perkembangan fotografi Indonesia, antara lain dengan menjadikan keragaman gaya foto dan kreatifitas sebagai salah satu kriteria dalam pemilihan foto pilihan editor, sehingga kecenderungan untuk terus terpaku pada foto-foto landskap dan model perempuan bisa diimbangi dengan paparan terhadap beragam gaya fotografi lain.

Wednesday, April 23, 2008

Seni Melihat

Disadur oleh: Eki Qushay Akhwan

Untuk menguasai seni melihat kita harus mengembangkan kemampuan untuk terlibat secara emosional dengan apa yang kita lihat, dan belajar mengenali harmoni wujud dan bentuk serta warna yang membangkitkan emosi itu. Bagi sebagian orang, kemampuan persepsi tingkat tinggi ini mungkin sudah dibawa dari lahir. Bagi sebagian yang lain, kemampuan seperti itu perlu diajarkan.

Ada beberapa tingkatan cara melihat. Cara melihat yang paling primitif hanya “merekam” segala sesuatu yang ada di depan mata kita, persis seperti cara kerja kamera yang merekam apapun yang ada di depan lensanya. Pada tingkat ini, tidak ada keterlibatan pikiran untuk menafsirkan apa yang direkam.

Pada tingkat selanjutnya, melihat tidak hanya merekam apa yang lewat di depan mata kita, namun juga – melalui keterlibatan pikiran – mengubah apa yang tampak oleh mata itu menjadi objek-objek yang bisa dikenali, seperti rumah, pohon, orang, dan sebagainya.

Seni melihat ada pada tingkat yang lebih tinggi dari kedua tingkat di atas. Pada tingkat ini kita tidak hanya mengenali objek, tapi juga menemukan sifat objek dan melihat relasi antarobjek yang menggerakkan perasaan dan membangkitkan kepekaan estetis kita.

Ketika kita mengalami “seni melihat,” maka yang sesungguhnya terjadi adalah kita sedang menciptakan gambar/foto yang indah di dalam benak kita – tanpa kamera, tanpa kanvas.

Pengarang William Saroyan suatu ketika mengatakan ini ketika memberi pengantar pada buku koleksi Foto-Foto tentang Amerika-nya Arthur Rothstein:

"Sudah menjadi sifat kita untuk mengamati dan melihat. … Semakin banyak kita mengamati, semakin banyak yang kita lihat; semakin banyak kita berkeinginan untuk mengamati, semakin banyak yang dapat dilihat, dan semakin banyak hal-hal kecil yang dapat ditemukan dalam segala sesuatu yang dapat kita lihat. Foto bunga daisy yang bagus akan merangsang kita untuk mulai mengamati bunga daisy secara lebih cermat, dan dari pengamatan itu kita akan mengamati segala sesuatu secara lebih cermat …"

Penemuan kamera telah memungkinkan jutaan orang untuk mereproduksi secara akurat pemandangan yang memberi kesenangan kepada mereka – kemampuan yang dulu hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki ketrampilan teknis menggambar, melukis, atau mematung. Fotografi dalam hal ini telah mendemokratisasikan proses reproduksi itu. Namun, reproduksi saja tidak cukup untuk menciptakan karya seni. Ada hal lain lain yang diperlukan, yaitu kemampuan mengenali apa yang layak direproduksi.

Secanggih apapun teknologinya, kamera tetap hanya sebuah alat mekanis yang tidak memiliki otak sendiri. Kamera hanyalah alat yang membantu fotografer menciptakan karya seni. Fotograferlah yang memilih momen yang tepat untuk ditangkap. Kamera hanya menjadi alat berkreasi bagi mata, mata hati, dan mata pikir fotografer. Foto yang memukau hanya dapat tercipta kalau fotografer mengarahkan kameranya di saat yang tepat, memerhatikan dengan seksama orang atau benda yang difotonya, serta sadar sepenuhnya apa yang tersusun di dalam jendela bidik.

Esensi foto sebagai hasil dari seni melihat dapat diibaratkan dengan sebuah puisi. Keduanya perlu dibaca dengan seksama dan berulang-ulang agar maknanya menjadi jelas. Puisi yang bagus mampu menstimulasi pikiran pembacanya untuk “melihat” hal-hal yang biasa dengan cara baru. Demikian juga dengan foto yang bagus; dia mampu menstimulasi pemerhatinya untuk melihat hal-hal yang biasa dengan cara baru.*)

Sumber:
Finn, David. How to Look at Photographs. (New York: Harry N. Abrams, Inc., 1994)

Tuesday, April 22, 2008

Henri Cartier-Bresson: Cerita Foto

Dikutip dan diterjemahkan oleh: Eki Qushay Akhwan

Apa sebenarnya reportase fotografis/cerita foto itu? Kadangkala ada sebuah foto unik yang komposisinya memiliki semangat kehidupan dan kaya, yang isinya memancar keluar dari dalamnya, foto tunggal yang menjadi keseluruhan cerita itu sendiri. Tapi hal itu jarang terjadi. Elemen-elemen yang secara bersama-sama dapat memantikkan percikan api dari suatu subjek seringkali terpencar-pencar dalam ruang dan waktu, dan menyatukan elemen-elemen itu secara paksa adalah “manajemen panggung,” yang, menurut saya, dibuat-buat. Namun jika kita bisa membuat gambar “inti” yang sekaligus memercikkan api dari subjeknya, maka itulah cerita foto. Halamanlah yang berfungsi menyatukan kembali elemen-elemen yang saling melengkapi yang tersebar di beberapa foto.

Cerita foto melibatkan kerja sama otak, mata, dan hati. Tujuan dari kerja sama ini adalah menggambarkan inti dari suatu kejadian yang sedang berlangsung, dan mengomunikasikan kesan. Kadangkala suatu kejadian terlalu kaya isi dan faset-fasetnya sehingga kita perlu bergerak mengitarinya untuk mencari solusi atas masalah-masalah yang disodorkannya – dunia ini bergerak; oleh karena itu, kita tidak bisa bersikap diam saja menghadapi sesuatu yang bergerak. Kadang-kadang kita mendapatkan foto seperti itu hanya dalam hitungan detik; namun bisa jadi perlu berjam-jam atau berhari-hari. Tidak ada rencana pasti, tidak ada pola yang bisa dijadikan dasar untuk berkarya. Kita harus selalu siaga dengan otak, mata, dan hati, dan memiliki kelenturan tubuh.

Sumber:
Cartier-Bresson, Henri. The Mind's Eye: Writings on Photography and Photographers (New York: Aperture, 1998)

Bolehkah Kita Mengambil Foto di Tempat-Tempat Umum?

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan

Beberapa waktu yang lalu ketika berburu foto dengan beberapa teman fotografer, kami sempat ditegur oleh satpam di Stasiun Bandung. Satpam itu mengatakan bahwa untuk mengambil foto di sana kami perlu izin dari kepala stasiun. Kejadian ini bukan yang pertama, dan saya yakin banyak teman-teman fotografer lain yang pernah mengalaminya: ditegur pihak yang merasa berwenang ketika mengambil foto di tempat umum atau ruang publik.

Fotografi publik (baca: mengambil foto di tempat-tempat umum) hingga sekarang memang belum jelas hukumnya. Di Amerika Serikat, aturan umum yang berlaku adalah, foto yang diambil di tempat umum untuk keperluan editorial digolongkan sebagai kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi. Pengecualian tentu ada. Petunjuk-petunjuk berikut mungkin bisa dijadikan pegangan:

Mengambil foto di tempat umum umumnya dianggap tidak menyalahi hukum. Namun, dalam keadaan darurat, di mana di tempat itu terjadi bencana alam, kebakaran, kejahatan, atau kerusuhan, tempat-tempat itu bisa dinyatakan tertutup, dan untuk mengambil foto diperlukan izin khusus. Tanpa izin, fotografer bisa dinyatakan telah melanggar hukum.


Foto editorial bisa menjadi objek penyidikan jika teks yang menyertainya mengimplikasikan adanya ketidakbenaran atau memfitnah orang yang ada di dalam foto.

Fotografer tidak diizinkan untuk mengambil foto orang di tempat-tempat umum jika foto itu akan digunakan untuk mempromosikan barang atau jasa.

Perlu juga dicatat bahwa tidak semua tempat yang tampaknya umum adalah tempat umum. Hotel, mal, rumah sakit, dan restoran tidak dianggap sebagai tempat umum karena ada pemiliknya. Jadi, kalau suatu ketika kita berkunjung ke mal atau hotel dan mengambil foto dan mendapat teguran dari satpam, maka hal itu sah-sah saja. Pemilik gedung – yang diwakili oleh si satpam – berhak menentukan apakah orang boleh mengabil foto di gedung miliknya atau tidak.

Pada kasus yang dikemukakan di awal tulisan ini, kita bisa memperdebatkan apakah stasiun termasuk tempat publik atau bukan. Di satu sisi, kita bisa menganggap bahwa stasiun adalah tempat publik karena dimiliki oleh negara dan digunakan untuk kepentingan umum. Namun, jika stasiun dianggap sebagai milik perusahaan – dalam hal ini PT Kereta Api – maka teguran yang dilakukan oleh satpam itu bisa diangap sah. Satpam itu adalah representasi dari si pemilik tempat, yaitu PT Kereta Api, yang berhak menentukan apakah fotografer boleh atau tidak boleh mengambil foto di tempat itu.

Apa Itu Foto?

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan

Bagi kebanyakan orang, pertanyaan “Apa itu foto?” mungkin dianggap sepele dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Bahkan ketika diajukan kepada para peminat fotografi, jawaban yang biasanya mengemuka adalah definisi yang diberikan oleh kamus, yaitu gambar yang dihasilkan dengan menangkap cahaya pada medium yang telah dilapisi bahan kimia peka cahaya atau sensor digital. Tidak banyak yang sadar bahwa di balik kesederhanaan artefak yang benama foto tersimpan kerumitan yang membuat definisi foto tidak sesederhana yang dibayangkan.

Pada level wujud, foto memang sebuah gambar, sebuah penyerupaan yang dihasilkan lewat proses yang dinamakan fotografi. Namun pada definisi paling dasar ini pun, tersimpan persoalan. Ada banyak jenis gambar yang dapat digolongkan sebagai foto. Pada abad ke-19, ada daguerrotype, heliotype, cetak albumen, cetak gelatin perak, photogravure, dan lukisan fotogenik. Di abad ke-20, ada polaroid, pindai elektronik (electronic scanner), foto digital, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan wujud seperti itu mengingatkan kepada kita akan kerumitan yang inheren pada sifat foto itu sendiri: Definisi foto sebagai objek selalu terkait dengan (dan bergantung pada) konteks sejarah, konteks sosial, konteks budaya, dan konteks teknologi. Dengan kata lain, konteks-konteks itulah yang sebenarnya menjadi salah satu penentu definisi, makna, dan nilai foto.

Kerumitan definisi foto tidak hanya terjadi pada level wujud. Secara fungsional, definisi, makna, dan nilai foto terus mengalami perubahan sejalan dengan transformasi dan metamorfosis wujudnya. Dari segi warna, foto hitam putih dan foto warna adalah dua hal yang berbeda. Dari segi ukuran dan bentuk, foto besar dan foto kecil, foto persegi dan foto persegi panjang atau bulat juga berbeda. Kualitas pencetakan (mengilat atau dof, dicetak di atas kertas tipis atau tebal), media yang digunakan (analog atau digital), cara penyimpanan dan penyajian (dalam dompet, album, bingkai, atau media penyimpanan dan penyajian digital), dan tujuan penggunaan (untuk kartu tanda pengenal diri, koran, majalah, atau pameran di galeri) juga mengubah dan memengaruhi pemahaman kita terhadap nilai dan status foto sebagai objek. Foto KTP yang berfungsi sebagai penanda jatidiri, misalnya, boleh jadi berubah status dan mendapat tanggapan yang berbeda jika dipajang di galeri dan dinyatakan sebagai spesimen praktik fotografi yang khas.

Kerumitan definisi foto juga juga dapat dicermati dari genre-genre yang dilabelkan kepadanya. Pengategorian foto ke dalam genre-genre yang berbeda merupakan upaya mengodifikasi referensi dan status foto dengan menggunakan asumsi-asumsi yang dikonstruksi. Label genre foto seni, misalnya, melibatkan asumsi-asumsi yang berbeda dengan asumsi-asumsi yang disandang oleh foto dokumentasi. Akibat pengategorian dan konstruksi asumsi-asumsi yang dipakai untuk pengategorian itu, foto yang fungsional – misalnya, foto dokumentasi – seringkali dianggap kurang bernilai dibandingkan dengan foto yang kurang atau tidak fungsional, seperti foto seni.

Proses pengategorian foto dengan menggunakan asumsi-asumsi yang dikonstruksi ini telah terjadi sejak masa-masa awal perkembangan fotografi. The Photographic Society, yang didirikan di London pada tahun 1853 dan kemudian berubah nama menjadi The Royal Photographic Society, misalnya, didirikan dengan tujuan untuk menjadikan praktik fotografi sebagai bagian dari tradisi akademik seni rupa. Karena ketiadaan referensi yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk menyusun hirarki dan melakukan pengategorian genre foto pada waktu itu, maka dipakailah asumsi-asumsi dari sumber seni visual terdekat, yaitu seni lukis. Akibatnya, praktik fotografi terus dibayang-bayangi oleh “hantu seni lukis”: Fotografi sebagai cabang seni tidak memiliki tradisi akademik yang mandiri. Keberadaannya sebagai salah satu cabang praktik seni selalu dikaitkan dengan (dan didasarkan pada) tradisi akademik seni lukis. Oleh karena itu, kita tidak perlu heran bila praktik, apresiasi, dan kritik fotografi hingga saat ini masih terus menggunakan paradigma-paradigma seni lukis.

Jadi, apa itu foto?Jawaban atas pertanyaan ini ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan sebagaian orang.

Bibliografi
Clarke, Graham. The Photograph. (Oxford: Oxford University Press, 1997)

Newhall, Beaumont. The History of Photography (5th Edition). (New York: Museum of Modern Art, 2005)

Wells, Liz (Ed.). Photography: A Critical Introduction (3rd Edition). (London and New York: Routhledge, 2004)

Monday, April 21, 2008

Menimbang Benar Salah dalam Dunia Fotografi Digital

Ditulis Oleh: Eki Qushay Akhwan

Dunia fotografi digital menawarkan kemungkinan yang nyaris tak terbatas untuk memanipulasi foto. Kenyataan ini membuat sebagian orang khawatir bahwa “kebenaran” faktual yang selama ini ditawarkan oleh fotografi akan musnah dan batas antara yang nyata dan yang fiktif menjadi lebur. Benarkah demikian?

Orang-orang yang mencemaskan hal-hal di atas mungkin tidak menyadari bahwa manipulasi foto tidak hanya terjadi pada era fotografi digital. Pada era fotografi analog pun manipulasi fotografi telah lama dilakukan. Touch up pada potret dan foto iklan, misalnya, adalah praktek yang biasa dilakukan sebelum fotografi digital ditemukan.

Di dunia jurnalistik manipulasi foto untuk tujuan-tujuan ilustratif bukan barang baru. Di Amerika, ketika kamera dilarang masuk ke ruang pengadilan, misalnya, para wartawan foto kadangkala harus mereka-panggung (staged) adegan yang berlangsung di dalam ruang pengadilan dan, dengan teknik potong dan tempel, merekayasa foto yang menunjukkan apa yang terjadi di ruang itu.

Tabloid – jenis pers yang cenderung sensasional – juga kadang-kadang menyandingkan pesohor (celebrity) A dan B yang mungkin sebenarnya tidak pernah bertemu dalam situasi dan konteks yang ada dalam foto. Bahkan ada tabloid yang pernah “menghidupkan kembali” Elvis dengan foto yang menggambarkan seolah dia masih hidup dan tinggal di pedesaan terpencil, bahkan di bulan!

Tidak hanya itu. Di era fotografi analog, terbitan yang lebih serius seperti The National Geographic (NG) pun diketahui melakukan rekayasa foto. Sampul edisi A Day in The Life of America, misalnya, diakui telah dimanipulasi untuk mendekatkan sang koboi dengan bulan yang ada dalam foto itu. Redaktur NG juga mengakui telah merekayasa posisi foto dua piramid yang menjadi foto sampul salah satu edisinya agar lebih dekat dan pas dengan format vertikal yang diperlukan untuk halaman sampul.

Dari contoh-contoh di atas, kredibilitas foto (baca: nilai kebenaran faktualnya) sebenarnya bukan hanya masalah fotografi digital. Kredibilitas foto analogpun dapat dipertanyakan. Memang di era fotografi digital, ragam jenis rekayasa yang dapat dilakukan dan kemudahan melakukannya pantas membuat sebagian orang khawatir. Rekayasa digital berpotensi menghasilkan foto aspal (asli wujudnya, palsu isinya) secara mulus dan nyaris tak terdeteksi. Ini tentu tidak jadi soal kalau foto yang bersangkutan tidak berimplikasi benar-salah. Namun jika foto hasil rekayasa digital itu mengakibatkan seseorang yang tidak bersalah menjadi bersalah (dan sebaliknya), atau foto semacam itu mampu memengaruhi opini publik tentang sesuatu yang krusial, maka hasil rekayasa digital itu tentu akan berakibat serius.

Memang, sampai saat ini belum ada kasus besar yang berimplikasi serius seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Namun kemungkinan semacam itu akan selalu ada dan menghantui persepsi kita terhadap foto digital.

Era di mana foto dianggap sebagai rekaman dan representasi yang jujur tentang dunia kita mungkin akan – atau justru telah (?) – berakhir. Kehadiran fotografi digital pada akhirnya akan memengaruhi pandangan orang tentang foto-foto yang mereka lihat di surat kabar dan majalah, atau bahkan album foto keluarga. Mereka tidak lagi akan menganggap foto sebagai rekaman atau reproduksi yang jujur dari realitas, namun hanya sekedar ilustrasi tentang subjek atau suatu peristiwa yang pernah ada atau terjadi. Dalam hal ini, fungsi foto kembali menyerupai fungsi lukisan di masa lalu: sebagai ilustrasi di mana keserupaan yang faithful bukan tujuan dari produksinya. Akibatnya, foto tidak lagi akan dianggap sebagai objek yang kredibel, di mana benar-salah mempunyai batas yang tegas.

Friday, April 11, 2008

Ada Apa dengan Kritik Foto?

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan

Untuk keperluan kritik, karya foto secara umum bisa dikategorikan menjadi enam golongan: deskriptif, eksplanatif, interpretatif, evaluatif etis, evaluatif estetik, dan teoretis.

Foto deskriptif adalah foto yang mencoba merekam atau mereproduksi subject matter secara apa adanya. Misalnya, foto-foto yang dibuat untuk keperluan dokumentasi, riset, mata-mata, atau - yang paling umum - paspor atau KTP. Foto-foto semacam ini biasanya tidak mengandung muatan interpretatif maupun evaluatif, alias straight, polos dan apa adanya. Pas foto untuk KTP, misalnya, tidak akan dibuat sedemikian rupa untuk memunculkan kepribadian subjek. Yang penting, foto mirip dengan si empunya foto dan orang bisa mencocokkan subjek dengan fotonya jika diperlukan. Foto semacam ini biasanya dinilai dari aspek teknisnya saja: fokus/tidak fokus, tajam/tidak tajam, pas atau tidak eksposure dan pencahayaannya, dan sebagainya.

Foto jenis kedua, foto eksplanatif, sebenarnya tidak banyak beda dengan foto deskriptif. Sesuai namanya, foto eksplanatif adalah foto yang dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan atau memaparkan. Misalnya, foto kedokteran olahraga yang dibuat untuk menjelaskan kerja kinetik otot manusia atau foto-foto yang mengabadikan kegiatan manusia dalam konteks sosial dan budayanya untuk keperluan riset sosiologi (visual sociology) dan antropologi (visual anthropology), atau reportase jurnalistik. Foto-foto jenis ini biasanya dibuat untuk merepresentasikan subject matter dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Foto-foto semacam ini biasanya bersifat objektif (baca: melaporkan subjek sebagaimana adanya) dan kebenaran isinya dapat diverifikasi dengan prosedur ilmiah investigatif. Dari segi wujud, foto semacam ini biasanya diambil dengan sudut bidik yang menempatkan subjek dalam konteksnya dan secara teknis dibuat untuk menonjolkan detil dengan tonalitas dan kontras yang seimbang.

Foto jenis berikutnya, yaitu foto interpretatif, juga dibuat untuk menjelaskan subject matter. Namun demikian, foto jenis ini tidak mengutamakan kebenaran "isi" sebagimana halnya dengan foto eksplanatif. Foto ini mengutamakan muatan yang bersifat fiktif, personal dan subjektif layaknya sebuah puisi atau karya fiksi lain. Meskipun mengandung muatan eksplanatif, foto-foto semacam ini tidak harus logis, bahkan kadang-kadang melawan logika, karena yang ditonjolkan adalah ekspresi fotografernya. Foto-foto seperti ini biasanya dramatis, stilistik, dan mengutamakan kesempurnaan bentuk dan wujud visual. Foto-foto semacam ini tidak tidak bisa diuji kebenaran isinya sebagimana foto-foto eksplanatif. Namun demikian tidak berarti bahwa foto-foto semacam ini tidak memiliki truth value (nilai kebenaran). Sebagaimana halnya cerpen atau novel, karya foto interpretatif merepresentasikan dunia faktual dengan caranya sendiri. Melaui keindahan puitis komposisi visual foto jenis ini, kita belajar mengapresiasi nilai-nilai keindahan yang terkandung dalam benda dan peristiwa yang terjadi di sekitar kita.

Foto evaluatif etis mengandung seluruh aspek yang ada dalam ketiga jenis foto di atas. Yang membedakan jenis foto ini dari ketiga jenis foto sebelumnya adalah muatan moral atau politisnya. Foto evaluatif etis mengutamakan timbangan aspek-aspek sosial: apa yang seharusnya terjadi atau tidak terjadi. Foto anak-anak jalanan, misalnya, bisa jadi hanya sebuah foto eksplanatif yang mereportasekan adanya fenomena sosial ini. Namun foto dengan subject matter yang sama bisa berubah statusnya menjadi foto evaluatif etis manakala foto itu tidak hanya melaporkan keberadaan anak-anak jalanan tapi juga mampu menyentuh perasaan dan menggerakkan kita untuk berbuat sesuatu guna mengatasi masalah sosial ini. Saya teringat betul dengan satu foto karya Yura Aidil Verdia di fotografer.net (http://www.fotografer.net/) yang berjudul "Mana Mungkin Mimpi Indah" yang momen, sudut bidik, dan komposisinya sedemikian rupa sehingga foto ini sangat menyentak dan menyentuh nurani kita. Foto ini mungkin bisa jadi contoh untuk sebuah karya evaluatif etis. Foto-foto jenis ini tidak harus selalu "sempurna" secara teknis, karena yang ditonjolkan adalah "muatannya". Foto-foto propaganda politik dan iklan yang mencoba merogoh emosi, sentimen dan perasaan kita bisa juga dimasukkan ke dalam kategori foto ini.

Jenis foto berikutnya, yaitu foto evaluatif estetik, memiliki ciri yang sama dengan foto evaluatif etis. Hanya saja, alih-alih muatan moral dan politis, foto evaluatif estetik menonjolkan aspek estetika yang oleh sang fotografer dianggap pantas diamati dan direnungkan. Foto-foto jenis ini biasanya menakjubkan. Subject matternya hampir tak terbatas, seperti foto bugil (nude), pemandangan alam, still life, dan sebagainya. Inilah jenis foto yang umumnya kita pahami sebagi foto seni atau foto salon: foto-foto indah yang difoto dengan indah. Sama dengan foto interpretatif, foto jenis ini biasanya bersifat poetik, dan truth value-nya sering tidak kasat mata. Artinya, kalau seorang fotografer menganggap bahwa pepohonan harus berwarna biru untuk membawa pesan emotif poetiknya, maka warna biru ini tidak bisa dikritik sebagai "tidak natural," karena yang ditonjolkan oleh foto jenis ini adalah aspek poetiknya.

Foto jenis terakhir, yaitu foto teoretis, mungkin dalam istilah saya sendiri bisa disebut sebagi metaphotography, yaitu foto yang mengomentari isu-isu seni dan penciptaan karya seni, politik seni, modalitas representasi, dan isu-isu teoretis lain tentang fotografi dan pemotretan. Saya agak kesulitan mencari contoh yang pas dari koleksi karya anggota FN untuk mengilustrasikan jenis foto ini. Tapi sebagai ilustrasi mungkin bisa dikatakan bahwa foto jenis ini adalah foto tentang foto atau kritik seni (termasuk di dalamnya seni foto) yang dinyatakan dalam bentuk visual dengan medium fotografi, misalnya foto tentang bagaimana perempuan, kegiatan fotografer, dunia perwayangan, komedi Srimulat, atau filem-filem India Bollywood direpresentasikan dalam foto.

Wednesday, April 9, 2008

Pelajaran Fotografi #1: Elemen-Elemen Komposisi

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan

Tanggapan kita terhadap suatu foto pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal: isi (subject matter) foto dan selera pribadi kita. Bagi orang yang menyukai lanskap, foto pemandangan tentu lebih menarik dibandingkan dengan foto still life (benda mati/tak bergerak), dan sebaliknya. Namun terlepas dari selera pribadi, ada dua unsur penting yang selalu hadir dalam foto yang bagus: komposisi dan cahaya.

Komposisi dapat diibaratkan sebagai sebuah ramuan atau resep. Untuk menghasilkan masakan yang lezat, koki memilih berbagai macam bahan dan mengombinasikannya sedemikian rupa menjadi hidangan yang menggugah selera. Dalam komposisi fotografi hal yang sama juga berlaku: fotografer memilih dan mengombinasikan beragam elemen sedemikian rupa sehingga menimbulkan dampak visual yang menghentak rasa dan memikat mata. Keseimbangan dan asimetri (dalam garis, ruang, dan geometri), wujud dan bentuk, pola dan tekstur, serta warna dan cahaya adalah “bahan mentah” yang penting diperhatikan dalam komposisi fotografi.

Di antara bahan-bahan mentah itu, cahaya memiliki tempat tersendiri dalam fotografi. (Ingat, fotografi secara harfiah berarti melukis dengan cahaya!) Kuantitas, kualitas, dan arah cahaya – jika “dibaca” dan dikelola dengan cermat – mampu memberi dampak yang dahsyat dalam foto.

Sekedar catatan: Ada anggapan yang sedikit keliru di antara peminat pemula fotografi bahwa peralatan yang dipakai (baca: kamera dan lensa) sangat menentukan dalam menghasilkan foto yang bagus. Benar, kamera dan lensa yang bagus sangat membantu dalam menghasilkan foto dengan kualitas teknis yang bagus. Namun foto yang bagus tidak dapat dihasilkan hanya dengan peralatan yang bagus. Kamera dan lensa yang bagus tidak berarti apa-apa jika orang yang memakainya tidak memiliki visi dan ketrampilan yang diperlukan. Jika tidak percaya, silakan berikan kamera bagus kepada orang awam dan kamera sekali pakai (disposable) kepada fotografer yang berpengalaman. Minta mereka memotret subjek yang sama di waktu yang sama, lalu bandingkan hasil bidikan keduanya. Anda akan melihat bahwa ternyata orang di belakang sejatalah (the man [and woman] behind the gun) yang lebih menentukan bagus tidaknya sebuah foto. Itu karena sebenarnya untuk menghasilkan foto yang bagus, diperlukan lebih dari sekedar alat. Menekan tombol rana terjadi dalam hitungan detik, namun sebelum itu terjadi seorang fotografer yang berpengalaman telah mengamati dan menganalisa subjeknya dengan seksana, membentuk gagasan dan melakukan pravisualisasi, serta memperhitungkan segala sesuatunya. Inilah yang membedakannya dari orang awam atau snapshooter (pemotret yang yang hanya menjepret/menekan tombol rana).

Dalam posting-posting selanjutnya kita akan melihat contoh-contoh portfolio yang mengilustrasikan bagaimana komposisi yang bagus dihasilkan melalui pengamatan yang seksama terhadap subjek dan pemilihan serta peramuan elemen yang dilakukan dengan cermat.

Sunday, April 6, 2008

Henri Cartier-Bresson: Subjek

Diterjemahkan dan dikutip oleh: Eki Qushay Akhwan


Subjek ada pada setiap peristiwa yang terjadi di dunia ini, termasuk pada jagad pribadi kita. Kita tidak dapat menegasikan subjek karena ia ada di mana-mana. Oleh karena itu, kita harus terbuka terhadap apa yang terjadi di dunia ini dan jujur terhadap perasaan kita sendiri.Subjek bukanlah kumpulan fakta, karena fakta sendiri tidaklah menarik. Namun melalui faktalah kita dapat memahami hukum-hukum yang mengaturnya, sehingga kita dapat lebih lihai memilih fakta-fakta yang esensial untuk mengomunikasikan realitas.

Dalam fotografi, hal terkecil sekalipun dapat menjadi subjek yang dahsyat. Detil rinci yang kecil tentang manusia dapat menjadi leitmotiv. Kita melihat dan mempertunjukkan dunia di sekitar kita; namun kejadian itu sendirilah yang sebenarnya membangkitkan ritme organik sang wujud.

Ada ribuan cara untuk menyarikan esensi dari sesuatu yang merebut perhatian kita. Kita tidak perlu membuat daftarnya. Biarkan dia tetap segar seperti apa adanya …

Ada satu wilayah yang tidak lagi dieksploitasi oleh seni lukis. Orang bilang, ini karena penemuan fotografi. Apapun sebabnya, fotografi telah mengambil sebagian dari wilayah itu dalam bentuk ilustrasi.

Salah satu jenis subjek yang sangat dipandang sebelah mata oleh para pelukis dewasa ini adalah potret. Jubah, topi tentara, dan kuda membuat para pelukis akademik sekalipun merasa muak. Mereka dibuat sesak napas oleh kancing-kancing sepatu boot para pelukis potret Zaman Victoria. Bagi para fotografer – mungkin karena kita berusaha mencapai sesuatu yang lebih fana nilainya ketimbang para pelukis itu – hal itu justru menggelikan, karena kita menerima kehidupan dalam segala realitasnya.

Orang punya dorongan kuat kuat untuk mengabadikan diri mereka sendiri melalui potret dan mereka berusaha menampilkan yang terbaik untuk anak cucu mereka. Namun dorongan seperti ini bercampur dengan rasa takut akan sihir hitam; perasaan takut bahwa dengan berpose di depan kamera untuk dipotret mereka menjejaskan diri sendiri terhadap guna-guna sihir atau yang semacamnya.

Salah satu hal yang paling mengesankan tentang potret adalah caranya menjiplak kesamaan manusia. Namun keabadian manusia sebenarnya berasal dari hal-hal eksternal yang memberinya identitas. Jika seorang fotografer ingin dapat menangkap refleksi sesungguhnya dari dunia seseorang – yang berada di luar dan di dalam diri orang tersebut – subjek potrait haruslah berupa situasi yang wajar bagi orang itu. Kita harus menghormati suasana yang melingkungi seorang manusia, dan mengintegrasikan habitat individu tersebut ke dalam potret, karena manusia, sebagaimana halnya satwa, mempunyai habitatnya sendiri. Di atas semua itu, orang yang berpose harus dibuat lupa tentang kamera yang ada di depannya dan fotografer yang mengoperasikan kamera itu. Keberadaan peralatan dan reflektor cahaya serta bermacam-macam perangkat keras yang rumit dapat menyebabkan kepribadian yang sesungguhnya tidak keluar.

Tidak ada yang lebih bersifat sementara dan terus berubah-ubah daripada mimik muka manusia. Kesan pertama yang tertangkap dari wajah seseorang seringkali merupakan yang kesan yang paling tepat; tapi fotografer harus selalu mencoba memberi substansi terhadap kesan pertama itu dengan tinggal bersama orang tersebut. Psikologi dan momen yang tepat sama pentingnya dengan posisi kamera sebagai faktor utama yang menentukan dalam pembuatan potret yang bagus. Menurut saya, sangat sulit menjadi fotografer potret bagi pelanggan yang memesan dan membayar, karena mereka ingin disenangkan, dan akibatnya menjadi tidak lagi riil. Orang yang berpose curiga dengan objektifitas kamera, sementara si fotografer berusaha menemukan gambaran psikologis yang tepat dari orang yang berpose itu.

Benar bahwa identitas tertentu ada dalam semua potret yang dibuat oleh seorang fotografer. Si fotografer mencari identitias dari orang yang berpose, namun pada saat yang sama juga berusaha mengekspresikan dirinya sendiri. Potrait yang sesungguhnya tidak menekankan yang lembut ataupun yang kasar, tapi justru merefleksikan kepribadian.

Saya jelas lebih suka foto-foto KTP yang ditempel berjejer-jejer di jendela tukang pas foto daripada potret yang dibuat-buat. Pada wajah-wajah itu, paling tidak, ada sesuatu yang menimbulkan pertanyaan, sebuah kesaksian faktual – inilah tempat identifikasi puitis yang kita cari.

Sumber:
Bresson, Henri-Cartier. The Mind's Eye: Writings on Photography and Photographers. (New York: Aperture, 1998)

Apakah Fotografi itu Seni?

Ditulis oleh: Eki Qushay Akhwan


Apakah fotografi sebuah seni? Apa ciri khas yang bisa membuatnya disebut sebagai suatu cabang ekspresi seni? Jawaban atas pertanyaan itu bisa jadi positif atau negatif, ya atau tidak.

Fotografi memang memiliki aspek teknologi dan estetika. Sebagai teknologi, fotografi pada awalnya diciptakan sebagai alat rekam. Kamera berikut perlengkapan yang memungkinkannya merekam citra (image) adalah aspek perangkat keras (hardware) teknologi fotografi; sedangkan pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan perangkat tersebut untuk menghasilkan citra adalah aspek perangkat lunaknya (software).

Penguasaan aspek teknologi saja tidak serta merta membuat orang menjadi seniman foto. Banyak orang mempunyai kamera dan pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakannya dengan baik. Namun karena cara dan tujuan penggunaan aspek teknologi tersebut, mereka tidak dapat dikatakan sebagai seniman foto. Seorang ibu yang menggunakan kamera untuk merekam momen-momen penting dalam kehidupan keluarganya atau para peneliti yang menggunakan kamera untuk mendokumentasikan objek penelitiannya tidak dapat dikatakan sebagai seorang seniman foto, meskipun mungkin foto-foto yang dihasilkannya secara teknis sempurna dan boleh jadi memiliki nilai estetika yang cukup tinggi. Demikian juga seorang wartawan foto yang mengabadikan momen-momen penting sejarah. Meskipun karya-karya fotonya boleh jadi istimewa dari segi teknis dan muatan ceritanya, karya-karya itu menurut saya tidak dapat dianggap sebagai karya seni, walaupun karya-karya itu mempunyai nilai komersial tinggi, dikoleksi oleh museum dan/atau dipamerkan di galeri-galeri terkemuka.

Seni tidak dapat dinilai dari aspek teknis dan/atau komersialnya saja. Ada aspek yang lebih esensial yang membuat suatu karya bisa digolongkan sebagai suatu ekspresi seni, yaitu aspek kreatif-eksploratif-estetik. Dalam urutan ini, aspek estetik dicapai bukan semata karena kelihaian dalam memanfaatkan aspek teknologi, namun (dan ini yang lebih penting) karena adanya aspek kesengajaan dan keinginan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang lahir dari perenungan gagasan yang bersifat eksploratif. Dengan kata lain, perenungan eksploratif melahirkan gagasan untuk mencipta. Gagasan ini kemudian dicarikan bentuknya dengan memanfaatkan aspek teknologi. Jika teknologi yang ada belum memungkinkan untuk memberikan bentuk ekspresi bagi gagasan yang dimiliki oleh seorang seniman, maka seniman itu mungkin akan berusaha menggabungkan beberapa teknologi yang ada, atau memanfaatkan teknologi yang ada secara kreatif, atau bekerjasama dengan engineers menciptakan teknologi baru untuk mewujudkan gagasannya itu. Jadi aspek teknologi atau kesempurnaan teknis dalam hal ini tidak menjadi unsur utama, tapi hanya pendukung atau alat berkreasi. Ilustrasi berikut mungkin bisa sedikit menjelaskan mengenai hal ini:

Alif dan Baba sama-sama pencita fotografi. Kedua-duanya menguasai dan lihai menggunakan teknologi inframerah untuk menghasilkan foto-foto yang indah. Jika aspek teknologi dan estetika saja yang digunakan, bisa jadi kita menggolongkan keduanya sebagai seniman foto. Namun ada satu hal yang membedakan Alif dan Bana. Alif menggunakan teknologi inframerah untuk memberikan bentuk bagi gagasan kreatif-eksploratif yang dimilikinya. Karya-karya fotonya selalu mengandung ungkapan-ungkapan estetik yang kreatif dan ?mengejutkan? (mungkin dengan pilihan subjeknya, sudut pengambilannya, atau eksplorasi nirmananya). Oleh karena itu, karya-karyanya mempunyai ciri khas yang menjadi signature kesenimanannya. Baba juga menggunakan teknologi inframerah. Namun dia memanfaatkan teknologi ini bukan untuk memberi bentuk bagi gagasan-gagasan eksploratif-kreatifnya, tapi sekedar karena curiosity (rasa ingin tahu/mencoba) kehebatan teknologi ini. Subjek dan sudut pengambilan yang dipilihnya boleh jadi sekedar meniru atau menjiplak dari orang-orang sekelas Alif. Tidak ada unsur kejutan kreatif yang secara konsisten melahirkan ciri khas yang bisa menjadi signature bagi karya-karya yang dihasilkannya. Dalam contoh ini, Alif dapat kita golongkan sebagai seniman foto, sedangkan Baba barangkali lebih tepat disebut sebagai tukang foto atau fotografer.

Memang contoh di atas bisa menimbulkan perdebatan. Di dunia di mana segala sesuatu bisa diproduksi secara massal (mass-produced culture), sesuatu yang hari ini dianggap sebagai suatu bentuk ekspresi adikreasi estetik, besok boleh jadi sudah banyak ditemukan tiruan atau simulakrumnya. Karena fenomena inilah, apa yang sempurna secara teknis/teknolgis dan memiliki nilai estetika yang menyenangkan indera namun bersifat (dan diproduksi secara) massal umumnya digolongkan ke dalam seni populer (pop arts). Sementara itu, ekspresi seni yang mempunyai nilai orisinalitas yang tinggi dari segi gagasan ekploratif-kreatifnya biasanya digolongkan ke dalam Arts (Seni dengan S besar). Seni (dengan S besar) seringkali menjadi sumber inspirasi bagi seni (dengan s kecil) yang bersifat lebih merakyat alias populer. Suatu karya foto bisa masuk ke dalam Seni (dengan S besar) atau seni (dengan s kecil). Semua bergantung pada apakah karya itu memiliki nilai kreatif-eksploratif yang khas dan orisinal dari segi gagasan yang melandasinya, atau hanya sekedar tiruan dari gagasan-gagasan inspiratif yang lahir dari proses perenungan kreatif para maestro.

© Copyrights
Unless otherwise stated, the articles and photos in this blog are the copyright property of Eki Qushay Akhwan. All rights reserved. You may NOT republish any of them in any forms without prior permission in writing from Eki Qushay Akhwan.

Kecuali disebutkan secara khusus, hak cipta atas tulisan dan karya foto di dalam blog ini ada pada Eki Qushay Akhwan. Dilarang mempublikasi ulang artikel dan/atau karya foto di dalam blog ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Eki Qushay Akhwan.